Gempabumi 27 Mei 2006 telah memporak-porandakan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Peristiwa tersebut kini masih terngiang dalam ingatan dan meninggalkan luka mendalam.
Hingga kini berbagai permasalahan pun muncul pasca bencana dan belum terselesaikan. Isu-isu seperti adanya rongga bawah tanah telah membuat panik masyarakat, serta kepanikan akibat keluarnya mata air bercampur lumpur (liquifaction), sampai pada bentuk bantuan masih juga belum terselesaikan.
Oleh karena itu, untuk memperingati peristiwa bencana gempa, Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM menyelenggarakan seminar nasional bertema “Refleksi Satu tahun Gempa Bumi 27 Mei 2006â€. Selain, untuk meningkatkan pendidikan kebencanaan, seminar ini bertujuan pula guna memberikan arahan dan kebijakan tentang penanggulangan dan penanganan kepada pemerintah.
Sejumlah pembicara hadir dalam seminar ini, seperti Ir Helmy Murwanto MSi (UPN Veteran Yogyakarta), Dr Kirbani Sri Brotopuspito (Jurusan Geofisika UGM), Ir Joko Soesilo MT (UPN Veteran Yogyakarta), Dr San Afri Awang (Fakultas Kehutanan UGM) dan Dr Sunarto MS (PSBA UGM). Tampak hadir pula Sekda Purworejo, Sekda Kulonprogo, Bappeda Klaten, Bappeda Gunungkidul dan Badan Meteorolgi Geofisika.
San Afri Awang bersama Fakultas Kehutanan UGM sejak awal terlibat pengabdian pasca gempa di desa Sitimulyo Kecamatan Piyungan, Bantul. Dari pengalamannya, dirinya mengungkapkan, bahwa masyarakat terkena bencana memang menjadi masyarakat yang terpuruk baik psikologi maupun material. Kuat dugaan angka kemiskinan di DIY dan Piyungan akibat bencana ini semakin meningkat.Sebagian besar petani, buruh tani, dan buruh pabrik kehilangan pekerjaan.
“Konsentrasi setiap keluarga saat itu adalah membersihkan puing-puing. sehingga praktis, pekerjaan di sawah, ladang dan berdagang pada 10 hari pertama lumpuh total. Hanya bantuan-bantuan dari dermawan dan pemerintah saja yang mereka harapkan pada waktu emergency,†kenang San Afri Awang, di PSBA UGM, Selasa, (8/5).
Oleh karena itu, katanya, pada tahap emergency dan recovery keterlibatan Fakultas Kehutanan UGM adalah sebagai fasilitator, mediator, supporting team dari persiapan sosial budaya (pendidikan, keagamaan, dan penguatan institusi masyarakat), sehingga kepercayaan diri masyarakat bangkit.
“Tahap rescue relawan dosen, karyawan dan mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM yang terlibat rata-rata 25 orang perhari. Posko Fakultas Kehutanan UGM pun pada tanggal 6 Juni 2006 mendapat tambahan tenaga mahasiswa KKN Tematik khusus daerah bencana sebanyak 43 orang,†tandas San Afri.
Untuk program rekonstruksi sosial di Sitimulyo, katanya, digalakkan program Gerakan Bangun Griyo, yaitu membangun kembali kegiatan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. “Bersama Yayasan Bhakti Yogyakarta, departemen Kehutanan, Fakultas Kehutanan UGM, Alumni Fakultas Kehutanan UGM, Jaring-jaring Kerjasama Jepang, Rektor UGM berhasil membangun 200 rumah ukuran 5×6 m, dengan biaya Rp 3 juta per rumah. Dengan fondasi, atap asbes, dan dinding gedek motif kualitas baik, membangun pula Sekolah TPA dan Masjid,†tukas dosen Fakultas Kehutanan UGM. (Humas UGM).