Sejarah mencatat, yang bisa bertahan dalam kondisi seburuk apapun adalah mereka yang mengenal baik kemampuan diri pribadi dalam menghadapi situasi. Disini sebuah pencarian jatidiri menjadi penting, dengan sebuah pertanyaan introspektif: Apakah Keistimewaan DIY itu?
“Oleh karena itu dalam upaya memperjuangkan dan melestarikan Keistimewaan DIY itu, hendaknya kita menggunakan falsafah Jawa: ‘Bisaa rumangsa, ning aja rumangsa bisa’. Karena, dalam pencarian makna terdalam dari ‘Keistimewaan’ itu, arogansi dan kepercayaan diri yang berlebihan bisa mengakibatkan kita tergelincir dalam salah langkah,†ungkap Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X, di Balai Senat UGM, Rabu, (9/5).
Hal itu disampaikannya saat memberi sambutan pada sarasehan dua hari (9-10 Mei 2007) bertema “Format Keistimewaan Yogyakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesiaâ€. Sarasehan digelar hasil kerjasama Universitas Gadjah Mada dan Pengurus daerah Kagama DIY.
Atas terselenggaranya acara ini, Sultan merasa terharu sekaligus bangga melihat dan merasakan antusiasme masyarakat terhadap “nasib†Keistimewaan DIY. Kondisi ini, kata dia, menunjukkan betapa besar kepekaan dan kepedulian masyarakat DIY terhadap perkembangan daerahnya kedepan.
Sementara itu Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi mengungkapkan, bahwa secara legal formal status Keistimewaan Yogyakarta sesungguhnya telah diakui Pemerintah melalui Undang-Undang No 3 tahun 1950. Namun, mengingat UU tersebut belum mengatur secara rinci rumusan Keistimewaan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka muncul masalah dalam menginterprestasikan dan menjalankan keistimewaan tersebut.
Bahwa status istimewa bagi Yogyakarta selama ini masih sekedar nama dari sebuah daerah provinsi. Artinya, secara administratif dan politik pemerintahan, DIY sama dengan provinsi-provinsi lain.
“Dengan penafsiran yang sempit itu, keistimewaan Yogyakarta hanya dioperasionalkan dalam pemerintahan dengan menjadikan Sri Sultan sebagai Kepala Daerah dan Sri Baginda Pakualam sebagai Wakil Kepala Daerah, sedangkan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kepatihan Pakualaman belum mendapat posisi sebagaimana yang seharusnya,†ujar Rektor saat membuka sarasehan.
Oleh karena itu, kata dia, perlu diingatkan kembali, bahwa Kraton Yogyakarta adalah penjaga kebudayaan Jawa. Kraton Yogyakarta adalah pengayom kultural bagi segenap rakyat Yogyakarta. Dengan demikian, Kanjeng Sultan Yogyakarta adalah panutan dan pemimpin budaya rakyatnya.
“Dan sebagai pemimpin budaya, Raja Yogyakarta seharusnya adalah juga pemimpin diatas semua pemimpin eksekutif, legislative, dan judikatif di Yogyakarta. Kraton dapat pula memainkan peranannya dalam pembangunan ekonomi rakyat yang berbasis pertanian dengan menggunakan tanah milik Kraton, sultan Ground, sebagai modal dasar,†jelasnya.
Agar Kraton Yogyakarta dapat menjalankan fungsi kultural, sosial dan pemerintahan, lebih lanjut Pak Sofian menjelaskan Pemerintah Pusat maupun Daerah perlu menjamin hak keuangan Kraton Jogjakarta dan Kepatihan Pakualam baik dalam APBN dan APBD.
Selain staf ahli Mendagri Dr Bambang Setiaji, hadir sejumlah pembicara antara lain Prof Dahlan Tha’ib SH dan Dr Eny Nurbaningsih SH, Prof Dr Djoko Suryo, KRT Harsadiningrat, Ir Yuwono Sri Suwito MM, Prof Dr Maria SW Soemardjono SH MCL MPA, Suyitno SH MS, Prof Dr Mudrajat Kuntjoro, Prof Dr Edy Suandi Hamid, Ir Gunung Radjiman MSc, Ir Leksono Probo Subanu MURP PhD, Prof Dr Djohar MS, Prof Dr Wuryadi MS, Drs Bambang Purwoko MA serta Dr Pratikno MSoc. (Humas UGM).