Pasca gerakan 1998, terjadi kecenderungan intervensi politisi terhadap berbagai kebijakan birokrasi. Muncul fenomena masuknya aktor-aktor politik baru ke dalam sistim pemerintahan.
Seiring dengan itu, dampak yang muncul adalah terganggunya kinerja birokrasi yang berpedoman pada sistem merit. “Dibeberapa kasus, tidak jarang birokrat yang memiliki kinerja bagus, justru mendapat tekanan-tekanan politik yang mempengaruhi kemajuan karirnya,†ungkap Drs. Sjahrazad Masdar, M.A, Senin (11/2) di Sekolah Pascasarjana UGM.
Kepala Badan DIKLAT Jawa Timur mengungkapkan hal itu, saat melaksanakan ujian terbuka program doktor bidang ilmu administrasi negara UGM. Promovendus mempertahankan desertasi “Intervensi Politisi Terhadap Birokrasi (Studi Tentang Pengaruh Politisi Terhadap Kebijakan Promosi dan Depromosi Birokrat Di Kota Surabaya dan Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur Dalam Era Otonomi Daerah)†dengan bertindak selaku promotor Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA dan ko-promotor Dr. Pratikno, M.Soc.Sc.
Dari penelitian di dua kota tersebut, Sjahrazad Masdar secara khusus mengkaji dua persoalan mendasar terkait dinamika yang terjadi antara politisi dan birokrasi. Disamping, tentang bagaimana bentuk intervensi politik terhadap kebijakan promosi dan depromosi, dirinya menganalisa pula tentang bagaimana implikasi terjadinya intervensi politik tersebut terhadap mekanisme kinerja birokrasi.
Penelitiannya di dua daerah tersebut, memperlihatkan fenomena umum bahwa proses pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah menunjukkan adanya pola relasi yang interventif. “Kasus di Kota Surabaya tahun 2002 menunjukkan pola pemberhentian Sekretaris Daerah yang dilakukan oleh Kepala Daerah merupakan proses yang penuh dengan muatan politis, khususnya untuk melanggengkan kekuasaan Kepala Daerah itu sendiri,†katanya.
Pun di Kabupaten Sibondo. Ketika Sekretaris Daerah tidak bersedia mengekomodir keinginan-keinginan kelompok mayoritas, berbagai usaha dilakukan untuk menggeser Sekda dari jabatannya. “Meskipun Kepala Daerah pada prinsipnya tidak menyetujui desakan pemberhentian karena alasan-alasan obyektif dan rasional, namun akhirnya Sekda tetap saja diberhentikan karena kuatnya desakan dari aktor-aktor di luar birokrasi,†jelas pria kelahiran Tanjung Redeb, Kalimantan Timur, 7 Maret 1950 ini.
Pj Bupati Jember (periode Mei s.d Agustus 2005) ini menerangkan, dua daerah penelitiannya sesungguhnya memiliki karakter yang bertolak belakang. Di Kota Surabaya yang modern dan Kabupaten Situbondo yang relatif tradisional, katanya, fenomena intervensi politik ternyata sama-sama mewarnai proses promosi dan depromosi Sekretaris Daerah di wilayah tersebut.
“Perbedaan setting sosial, ekonomi dan politik, ternyata tetap memunculkan sebuah fenomena yang hampir seragam, intervensi dalam proses promosi dan depromosi Sekretaris Daerah. Keberadaan struktur dan prosedur formal yang semestinya dijadikan sebagai sistim promosi dan depromosi pejabat struktural, pada tataran empirik kerap di by pass oleh kepentingan-kepentingan politis dari aktor-aktor berkuasa,†terangnya.
Lembaga seperti Baperjakat yang seharusnya menjadi lembaga penentu kebijakan promosi dan depromosi tidak mampu menjalankan fungsi-fungsi dasarnya. Bahkan, lembaga ini dinilai “kalah bersaing†saat berhadapan dengan aktor-aktor politik, baik aktor intra parlementer seperti yang terjadi di Kota Surabaya maupun aktor ekstra parlementer seperti kasus di Kabupaten Situbondo.
“Dampak intervensi politisi, menyebabkan merit sistem sebagai mekanisme standar dalam proses birokrasi menjadi sulit terlaksana. Keputusan-keputusan yang seharusnya diambil melalui pertimbangan objektif tidak jarang berbelok untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan tertentu. Kondisi seperti ini tentu memunculkan sebuah pertanyaan besar, apakah intervensi politisi terhadap birokrasi selalu bersifat negatif?â€, ujar suami Dra. Hj. Supadmi, Apt, ayah empat orang anak Syamsul Arief Rakmadani, Syamsiar Aulia Rahman, Andini Rif’ani Amalia dan Syahrani Azmi Rahim ini.
Meski begitu, Sjahrazad Masdar menegaskan, birokrasi tetap membutuhkan dukungan politisi untuk menjalankan kebijakan-kebijakan publik yang ditetapkannya. Disisi lain, politisi juga membutuhkan dukungan birokrasi yang pada tataran riil berfungsi sebagai eksekutor atau pelaksana kebijakan publik.
“Dari uraian tersebut menggambarkan bahwa bagaimanapun ruang interaksi yang terbangun antara birokrasi dan politisi mengharuskan adanya saling dukung atau hubungan yang saling menguntungkan antara keduanya, dalam artian saling mendukung sesuai dengan koridor tugas dan fungsi masing-masing. Sehingga pola realasi yang akan terbentuk adalah relasi yang saling memperkuat yang akhirnya bermuara pada terakomodasinya kepentingan-kepentingan publik secara lebih baik,†tandas Sjahrazad yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. (Humas UGM).