Secara historis keistimewaan Yogyakarta karena posisinya sebagai sebuah negara kerajaan yang sudah diakui eksistensinya sejak sebelum Proklamasi Kemerdekaan dan peran-peran kesejarahannya, khususnya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, pada proses pembentukan dan perjalanan Republik Indonesia. Hal ini ditunjukkkan dengan tindakan nyata Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII pada tanggal 18 Agustus 1945, memberikan dukungan atas Proklamasi Kemerdekaan. Sikap ini dipertegas dengan amanat 5 September 1945 yang substansinya sebagai berikut; “…bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Pakualaman yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia…â€
“Secara sosiologis keistimewaan Yogyakarta dari waktu ke waktu telah mendapatkan penghormatan, pengakuan dan pengukuhan dari semua lapisan masyarakat, termasuk masyarakat internasional, sejak awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta sampai dengan saat ini,†tutur Prof Dr dr Sutaryo Sp (AK), Kamis (10/5) dalam membacakan hasil sarasehan Mencari Format Keistimewaan Yogayakarta untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kebhinekaan Republik Indonesia di Balai Senat UGM, 9-10 Mei 2007.
Sutaryo menambahkan bahwa secara yuridis normatif keistimewaan Yogyakarta sudah ditegaskan dalam 18B ayat (1) Undang-undang dasar 1945 yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undangâ€.
Pengakuan keistimewaan Yogyakarta sudah termuat dalam berbagai undang-undang: UU Nomor 3 Tahun 1950, UU Nomor 19 tahun 1950, UU Nomor 22 tahun 1948, UU Nomor 1 tahun 1957, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 tahun 1974, UU Nomor 22 tahun 1999 dan terakhir UU Nomor 32 tahun 2004.
Walaupun status keistimewaan Yogyakarta telah diakui, tapi menurut Sutaryo untuk implementasinya masih diperlukan peraturan perundangan yang lebih rinci.
Beberapa substansi yang perlu dimasukkan dalam peraturan keistimewaan Yogyakarta adalah (i) keberadaan dan peran Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualam dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan di Yogyakarta sebagai pengayom, panutan, penjaga budaya dan simbol pemersatu masyarakat Yogyakarta, (ii) Mengenai keberadaan dan peran tersebut maka penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai Kepala Daerah/Gubernur dan Wakil Kepala Derah/Wakil Gubernur. Sedangkan pengakuan Sultan dan Paku Alam sebagai pemimpin spiritual dan kultural masyarakat Yogyakarta, mempunyai hak potokoler dan hak veto dalam urusan strategis, (iii) Dalam bidang hukum pertanahan ditawarkan dua alternatif dimana Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualam sebagai Badan Hukum Kebudayaan yang berstatus sebagai subyek hak yang memiliki hak privat saja, atas sebagai subyek hak ulayat yang memiliki hak privat dan hak publik atas Sultanaat Grond dan Paku Alaman Grond (PAG), (iv) Selanjutnya diperlukan penataan hubungan keuangan pusat–daerah yang memungkinkan Daerah Istimewa Yogyakarta mendapatkan dana khusus dari pemerintah.
“Secara kultural keistimewaan Yogyakarta harus berakar pada nilai-nilai kearifan lokal yang termanifestasikan dalam kebijakan yang mengatur tentang sikap, perilaku masyarakat dan pemimpinnya serta dalam pengelolaan pendidikan, tata ruang serta tatanan sosial ekonomi dan politik pemerintahan,†kata Ketua Tim Perumus hasil sarasehan ini. (Humas UGM)