Masyarakat pesisir pantai utara Kabupaten Timur Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan tertinggi di indonesia. Daerah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste ini, sektor potensi pertanian nampaknya sulit untuk dioptimalkan karena kondisi daerahnya yang gersang dan tandus serta sulit air, sementara potensi ikan hasil tangkap para nelayan masih tergantung dengan musim.
Tim peneliti dari Departemen Perikanan, Fakultas Pertanian UGM melaksanakan program pemberdayaan ekonomi dengan melakukan penerapan teknologi produk olahan ikan dengan sasaran kelompok ibu rumah tangga. Dipilihnya para kaum perempuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi keluarga. Empat kelompok unit pengolahan ikan tersebar di tiga kecamatan, yaitu Insana Utara, Biboki Anleu, dan Biboki Monleu.
Dr. Eko Setyobudi, salah satu anggota tim peneliti, mengatakan pesisir pantai utara TTU memiliki wilayah garis pantai yang cukup panjang sehingga memiliki sumber daya perikanan yang cukup melimpah. Namun begitu, tidak sepanjang tahun ikan bisa ada dalam jumlah banyak, namun saat hasil tangkapan melimpah harganya pun jadi rendah. “Di saat musim ikan melimpah, hasil tangkapan yang banyak itu harganya pun sangat murah,” kata Eko Setyobudi, Rabu (30/8).
Untuk meningkatkan ekonomi keluarga di daerah pesisir, tim UGM melakukan pendampingan produk olahan ikan. Adanya proses nilai tambah produk perikanan ini diharapkan harga jualnya pun lebih tinggi. “Untuk produk olahan ini kita memilih produk olahan kering yang memiliki masa simpan yang lebih panjang,” kata Eko menceritakan asal mula kegiatan yang dimulai sejak dua tahun lalu melalui kegiatan Community Resilience dan Pembangunan Ekonomi (CaRED), hasil kerja sama UGM dan Pemerintah Selandia Baru.
Dikatakan Eko, tidak mudah bagi mereka untuk menyasar kelompok ibu rumah tanga di wilayah pesisir utara TTU untuk diajak terlibat dalam kelompok usaha olahan produk perikanan. Menggadeng Dinas Perikanan dan Kelautan, TTU, tim UGM coba mengaktifkan kembali kelompok perikanan yang selama ini sudah dibina oleh pemerintah lokal. “Kita aktifkan kelompok binaan yang sudah ada, selama ini usaha mereka mandeg,” paparnya.
Empat kelompok unit usaha yang tersebar di tiga kecamatan akhirnya diberdayakan untuk bisa mengolah produk olahan ikan dengan menggunakan teknologi sederhana. “Selain itu kami juga memberikan pelatihan kewirausahaan dan pelatihan keuangan bahkan proses pengemasan dan pemasarannya,” ungkapnya.
Menurut Eko, walaupun baru ada empat kelompok usaha yang diberdayakan untuk merintis usaha kecil skala rumah tanggan namun ke depan diharapkan kegiatan usaha produktif tersebut bisa menular pada kelompok ibu rumah tangga yang lain di seputar masyarakat pesisir. “Kita harapkan yang mereka dapatkan bisa mereka tularkan pada ibu rumah tangga yang lain,” katanya.
Merintis usaha produktif bagi kelompok perempuan pesisir ini ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Meski sudah memiliki keterampilan dalam mengolah produk olahan ikan, kelompok usaha perempuan pesisir ini dihadapkan pada kondsi hasil tangkapan ikan selama dua tahun terakhir tidak begitu melimpah yang menyebabkan harga ikan pun jauh lebih mahal dari biasanya. Namun begitu tidak menurunkan semangat para ibu-ibu ini untuk melanjutkan usaha mereka. Kendala lainnya, produk usaha yang mereka hasilkan belum semuanya memiliki izin produksi. Namun berkat pendampingan dari kegiatan mahasiswa KKN PPM UGM dua bulan lalu, 2 dari 4 kelompok usaha ini berhasil mendapatkan izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). “Dari empat kelompok ada dua yang sudah memiliki PIRT,” terang Eko.
Wahdan Fitriya, M.Sc., salah satu anggota peneliti lainnya menuturkan bahwa produk olahan kering yang dipilih adalah abon, amplang kerupuk ikan, ikan krispi dan bakso goreng. Pemilihan produk ini menurutnya didasarkan pada pengalaman anggota tim yang menerapkan program yang sama pada daerah pesisir Kabupaten Tuban, Jawa Timur. “Produk ini sudah kita coba di Tuban dan ternyata berhasil,” paparnya.
Sementara untuk penjualan produk olahan ikan dari empat kelompok perempuan ini masih dipasarkan secara sederhana, lewat pertemanan dan lewat jejaring media sosial. Namun ada juga yang dijual sampai ke kota Kefamenanu, Kupang dan Timor Leste. “Kita juga jual ke Timor Leste, itu pun tidak banyak kalau ada pesanan saja,” kata Ivana Silitonga, 27 tahun dari Desa Humusu Wini, Insana Utara.
Ivana yang sebelumya berjualan ikan segar di pinggir jalan dekat rumahnya merasa beruntung diberikan pelatihan keterampilan untuk bisa mengolah produk olahan ikan. Jenis produk yang mereka hasilkan berupa krispi, abon dan dendeng yang terbuat dari daging ikan tenggiri, tuna dan sarden. “Yang paling laris abon dan dendeng,” katanya.
Dibuat dalam bentuk kemasan per 100 gram, abon dan dendeng dijual dengan harga Rp 15 ribu- Rp 25 ribu. Di kelompok usaha ini, ibu Ivana bersama empat anggota lainnya memiliki omset penjualan per bulan Rp 3 juta rupiah. Berbeda dengan Ivana, Maria Eno, 41 tahun, wanita dari Biboki Anleu, jutsru memanfaatkan kegiatan posyandu untuk memasarkan produk abon dan krispi yang mereka jual di dua dusun. “Kita buat satu kali saja saat ada kegiatan posyandu,” papar Ibu dari tiga anak ini.
Sementara itu, Veronica Enamariman Andani, 37 tahun, dari desa Oepuah Selatan, Biboki Moenleo, menuturkan produk kelompok usaha mereka sudah mendapat PIRT sehingga ia bisa memasarkan ke kota Kupang. Beberapa produk sudah dititipkan di toko apotik dan swalayan di kota Kefamenanu. Meski begitu menurut Veronica, kegiatan produksi di tempatnya tidak berlangsung setiap hari, kelompok mereka hanya memproduksi bila ada pesanan datang. “Kita mengerjakannya saat ada waktu luang, biasanya saat ibu-ibu pulang dari ladang,” katanya.
Pemerintah kabupaten TTU melalui Wakil Bupati Aloysius Kobes menyambut baik program pendampingan usaha kecil untuk kelompok perempuan pesisir yang tinggal di daerah. Menurutnya masyarakat pesisir di pantai utara TTU umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. “Tingkat kemiskinannya tertinggi di indonesia. Saat musim paceklik, para nelayan menganggur. Mata pencaharian mereka pun abu-abu, antara nelayan dan tani, tidak jelas, sebenarnya kelayaan laut sangat besar karena faktor SDM yang rendah, sehingga tidak maksimal memanfaatakan kekayaan laut, “kata Kobes. (Humas UGM / Gusti Grehenson)