
Di tengah derasnya pusaran globalisasi, utamanya di bidang teknologi transportasi dan informasi, negara bangsa di dunia saat ini diperhadapkan pada berbagai krisis kemanusian yang mencemaskan, seperti konflik, migrasi, dan perdagangan manusia. Tak ada satupun negara bangsa di dunia saat ini yang lolos dari belitan persoalan tersebut, tak terkecuali negara-negara ASEAN. Bahkan, kasus perdagangan manusia kini semakin berkembang dengan penggunaan modus yang semakin beragam pula.
“Perdagangan manusia berbeda dengan kejahatan biasa. Kita harus memahami pola-pola rekrutmennya karena saat ini ada berbagai modus yang terselubung,” ujar perwakilan Indonesia dalam ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), Dr. Dinna Wisnu, dalam seminar bertajuk The Politics of Producing Human Rights: Tantangan Implementasi Konvensi ASEAN Melawan Perdagangan Manusia, Kamis (31/8) di FISIPOL UGM.
Dalam seminar yang diselenggarakan atas kerja sama antara Departemen Sosiologi FISIPOL UGM dan AICHR ini, Dinna memaparkan pendekatan berbasis HAM untuk melawan perdagangan manusia, khususnya wanita dan anak-anak yang masih marak terjadi di kawasan ASEAN. Dinna menuturkan upaya penanganan masalah ini tidak bisa hanya ditempuh melalui pendekatan hukum karena justru kebanyakan kasus perdagangan manusia terjadi melalui jalur-jalur yang terlihat sah secara hukum seperti melalui lembaga penyaluran TKI.
“Faktanya 85 persen kasus perdagangan manusia sekarang justru terjadi lewat jalur legal, jadi jangan kira ketika Anda ke luar lewat jalur resmi maka Anda selamat,” ucapnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, saat ini perdagangan manusia dilakukan dengan berbagai modus baru misalnya dengan kedok tawaran beasiswa atau bahkan perjalanan umrah. Karena itu, ia mengingatkan kepada masyarakat agar dapat lebih jeli meneliti aktivitas-aktivitas tersebut dan tidak mengumbar hal-hal pribadi melalui media sosial yang kerap menjadi sarana bagi pelaku untuk memilih target.
“Hati-hati dengan kerentanan kalian yang bisa dideteksi lewat facebook dan media sosial lainnya. Itu justru bisa jadi sasaran empuk untuk mengidentifikasi ambisi kalian yang bisa dimanfaatkan,” imbuh Dinna.
Di tengah persoalan yang semakin pelik ini, ia mendorong berbagai pihak untuk turut ambil bagian dalam upaya melawan perdagangan manusia dengan menyumbangkan pemikiran dan ide-ide yang dapat menjadi solusi bagi persoalan yang ada saat ini.
“Kejahatan ini luar biasa serius dan harus ditangani secara sistematis bukan hanya oleh satu pihak. Kita tidak bisa abai. Kita harus ikut membantu bagaimana agar kebijakan bisa lebih baik, agar cita-cita people-centered ASEAN bisa tercapai serta dirasakan masyarakat,” pungkas Dinna.
Senada dengan Dinna, staf ahli Kementerian Sosial yang juga kepala Senior Officials Meeting on Social Welfare and Development, Dr. Mu’man Nuryana, menyatakan bahwa akademisi memiliki tanggung jawab untuk mendukung upaya pemerintah dalam mencegah serta menekan angka kasus perdagangan manusia melalui kajian-kajian yang dilakukan.
“Tugas sivitas akademik adalah dalam pendidikan HAM, bagaimana trafficking dipahami secara benar, serta merumuskan materi publikasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat yang rentan terhadap trafficking yang bisa diadopsi oleh pemerintah daerah,” jelasnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Kepala Departemen Sosiologi UGM, Dr. Arie Sujito, yang membuka seminar ini. Persoalan perdagangan manusia, menurutnya, memang menuntut berbagai kalangan termasuk akademisi untuk terus menggali diskursus tentang HAM, khususnya terkait upaya melawan perdagangan perempuan dan anak di kawasan ASEAN.
“Ini adalah persoalan realitas kemanusiaan yang butuh berbagai pendekatan. Perguruan Tinggi tidak bisa hanya menjadi penonton tapi juga harus mengambil inisiatif,” ujarnya. (Humas UGM/Gloria)