Kesenjangan pembangunan yang terjadi antar wilayah di Indonesia disebabkan bukan hanya karena kegagalan dalam proses penyelenggaraannya namun lebih disebabkan paradigma dan konsep pembangunan yang selama ini berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi. Akhirnya, konsep pembangunan tersebut ternyata menimbulkan persoalan baru dengan munculnya eksploitasi sumber daya alam yang melampui batas kemampuan daya dukung dan terjadinya kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menerapkan pembangunan wilayah berkelanjutan harus dilaksanakan dalam rangka mengurangi angka kemiskinan, menekan kesenjangan sosial ekonomi dan ketimpangan antar wilayah. Hal itu dikemukakan oleh Dosen Geografi UGM, Dr. Luthfi Muta’ali ,M.T., pada orasi ilmiah yang bertajuk Penguatan Kerangka Kerja Pembangunan Wilayah Berkelanjutan di Indonesia pada puncak acara Dies Natalis Fakultas Geografi UGM ke-54, Senin (4/8) di ruang Auditorium Merapi, Fakultas Geografi UGM.
Ketimpangan pembangunan, kata Luthfi, terjadi antara Jawa dan luar Jawa, kawasan barat dan Timur, serta antar kota dan desa. Ia mengutip laporan laporan BPS tahun 2016 yang menyebutkan 80,34% perekonomian terkonsetrasi di Jawa dan Sumatera. Sementara sejumlah propinsi, seperti Aceh, Sumatera Selatan, Riau, sebagian besar Kalimantan dan Papua merupakan daerah penyumbang devisa terbesar negara karena kelimpahan sumberdaya namun daerah-daerah tersebut justru mengalami kemunduran ekonomi terutama masalah kemiskinan di tingkat desa.”Yang lebih mengenaskan adalah fakta kemerosotan sumberdaya alam dan kualitas lingkungan,”katanya.
Di samping itu, kebijakan fiskal baru tentang pembagian dana bagi hasil yang besar bagi wilayah-wilayah tersebut ternyata belum juga mampu menyelesaikan masalah kemiskinan dan kesenjangan. Oleh karena itu, menurutnya diperlukan pendekatan yang mampu mengintegrasikan antas sistem wilayah, baik perkotaaan-perdesaaan maupun mengurangi kesenjangan antar wilayah. Kesenjangan wilayah yang sistemik akhirnya, kata Luthfi, telah memunculkan niat pemerintah untuk melakukan revolusi spasial dengan melakukan pemindahan ibukota NKRI.
Paradigma pembangunan wilayah ke depan setidaknya memiliki empat aspek penting, yakni mencapai pertumbuhan, pemerataan,kesejahteraan dan keberlanjutan yang berimbang. Diantara keempat aspek tersebut, keberlanjutan menjadi pondasi pembangunan wilayah dan menjadi tujuan jangka panjang. “Yang tidak kalah penting, pendampingan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia sebagai implementator pembangunan berkelanjutan juga menjadi perhatian dan tantangan kita,”ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Mantan Deputi Bidang Pengkajian Strategik Lemhanas RI sekaligus Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan (PPK) UGM, Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno,M.Agr. Menurutnya, ada delapan elemen atau gatra dalam sistem ketahanan nasional RI, yakni gatra letak dan kedudukan geografi, kekayaan alam, kemampuan penduduk, gatra ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam. Menurutnya, gatra geografi beberapa tahun terakhir mengalami penurunan karena dipengaruhi gatra yang lain, yakni gatra ideologi dan sosial budaya. “Selama enam tahun, kedua gatra ini warna kuning atau kurang tangguh. Kedua gatra ini juga memengaruhi kehidupan politik dan pengelolaan kekayaaan sumber daya alam,” kata Djagal.
Ia menambahkan gatra letak dan kedudukan geografi sejak 2010 hingga 2013 dinilai oleh Lemhanas masih kurang tangguh yang disimbolkan dengan tanda kuning, sedangkan kondisi tangguh dengan warna hijau. “Sempat hijau tahun 2014 lalu kuning lagi tahun 2015, dan hijau lagi tahun 2016,” katanya.
Persoalan gatra geografi ini, menurut Djagal, terkait dengan pembangunan pemanfaatan tata guna lahan, kemampuan daya dukung lingkungan, batas wilayah, kemiringan lahan, sarana dan prasarana, dan jalur laut kepulauan Indonesia. “Dari aspek yang diukur secara kumulatif, gatra geografi hanya hijau di tahun 2014 dan 2016. Oleh karena itu, peran dan kontribusi Fakultas Geografi lewat akademisi dan alumninya dalam mendukung gatra ketahanan nasional sangat penting,” ungkapnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)