Dengan siklus hidrologisnnya, air dianggap sebagai sumberdaya yang terbaharukan. Namun semakin berkembangnya jumlah penduduk, meningkatnya perkembangan ekonomi semakin intensifnya penggunaan air dan pencemaran air di beberapa decade terakhir, ditambah perubahan iklim global, telah terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air.
Ketidakseimbangan ini telah memicu terjadinya krisis air di hampir pelosok dunia. Diperkirakan di tahun 2025, hampir 3,5 milyar orang akan mengalami kekurangan air dan 2,5 milyar orang hidup dengan sanitasi tidak layak.
“Air yang semestinya sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak, dan dijaga dari cemaran, ternyata diperlakukan sebaliknya. Air selalu dihamburkan, dicemari dan disia-siakan,†ungkap Prof Dr Ir Budi Santoso Wignyosukarto Dip HE DEA, hari Rabu (5/9) di ruang Balai Senat UGM.
Ia ungkapkan hal itu, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Koordinator Kopertis Wilayah V DIY ini menyampaikan pidato “Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu Dalam Upaya Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium 2015â€.
Mengutip pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kata Budi, saat ini 2 miliar orang menyandang risiko menderita penyakit diare, yang diakibatkan oleh air dan makanan. Data WHO menyebut pula, penyakit diare menjadi penyebab utama kematian lebih dari 5 juta anak setiap tahun.
Budi WS menjelaskan, bahwa pengelolaan sumberdaya air di Indonesia menghadapi problema yang sangat kompleks. Air yang memiliki fungsi sosial-budaya, ekonomi dan lingkungan bisa memunculkan kepentingan saling bertentangan. Meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas kegiatan ekonomi, serta telah terjadinya perubahan sumberdaya alam menyebabkan degradasi lahan, erosi, tanah longsor dan banjir.
“Demikian juga dengan pembukaan lahan guna keperluan perluasan daerah pertanian, pemukiman dan industri, yang tidak terkoordinasi dengan baik dalam kerangka pengembangan tata ruang,†tambah pria kelahiran Yogyakarta, 17 Agustus 1952 ini.
Selain itu, menurut Budi WS mengutip data Country Report for the 3ed World Water Forum Kyoto-Japan, Maret 2003, di Pulau Jawa yang hanya mempunyia 4,5% potensi air tawar nasional, harus menopang kebutuhan 60% penduduk Indonesia, serta 70% kebutuhan air irigasi nasional dan harus melayani 70% kebutuhan air industri nasional.
“Hal inilah yang menjadi persoalan yang harus dicermati karena sangat beresiko memunculkan konflik. Saat ini sektor pertanian menggunakan hampir 80% kebutuhan air total, untuk industri dan rumah tangga hanya 20%. Di tahun 2020 diperkirakan akan terjadi kenaikan kebutuhan air untuk rumah tangga dan industri sebesar 25-30%,†tukas suami Dra Susi Daryanti MSc, ayah dari Aska Primardi SPsi dan Marinda Amitia ini.
Sementara, di beberapa daerah aliran sungai di Pulau Jawa telah terjadi degradasi yang sangat memprihatinkan. Erosi yang berlebihan telah mengakibatkan terjadinya sedimentasi di beberapa waduk yang telah dibangun di sungai Citarum, Brantas, Serayu-Bogowonto dan Bengawan Solo.
“Sedimentasi tersebut akan mengurangi usia tampung waduk. Beberapa waduk tersebut diperkirakan hanya akan mampu memenuhi kebutuhan air baku hingga 2010 saja,†tambahnya.
Di sisi lain, pembangunan jaringan air minum melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) juga sangat lambat. Meski Departemen Pekerjaan Umum pada 2003 lalu mentargetkan kenaikan jumlah pelanggan dari 17% menjadi 62% pada 2015 namun menurut Budi itu sangat sulit diwujudkan.
Menurutnya data dari Departemen Pekerjaan Umum menunjukan bahwa sejak 2000 rata-rata jumlah sambungan baru yang terpasang tiap tahun hanya 300.000 buah. Padahal untuk mencapai target di atas, maka diperlukan peningkatan 2 juta sambungan tiap tahun.
“Apalagi melihat kenyataan pengembangan air minum dan air baku sangat kurang peminat dari investor baik dalam maupun luar negeri,†kata Pengelola S2 Program Studi Teknik Sipil PPS UGM.
Pembangunan jaringan air minum dan penyediaan air baku juga mendapat ancaman dengan semakin berkembangnya industri air kemasan. Beberapa produsen air kemasan memanfaatkan air tanah di daerah resapan air. Konflik antar petani dan produsen kemasan telah terjadi di beberapa tempat.
Maraknya industri air minum kemasan ini wajar karena Indonesia merupakan pangsa pasar yang sangat besar. Bahkan Indonesia menjadi negara ke delapan terbesar ke dunia yang mengkonsumsi air dalam kemasan dengan jumlah mencapai 7,62 juta meter kubik pertahun.
“Dengan semakin meningkatnya kebutuhan air dan terjadinya kelangkaan ketersediaan air orang mulai terpancing untuk berfikir dan memandang air sebagai barang ekonomi. Dan ini bisa menjadi sumber konflik yang berbahaya,†tegas Ketua Katgama 2000 – 2003 ini. (Humas UGM)