Era digital memengaruhi praktik jurnalisme dalam berbagai hal. Jurnalisme di Indonesia juga turut berubah seiring dengan berkembangnya teknologi digital. Berdasarkan data dari Dewan Pers, Indonesia memiliki 1.755 situs berita di tahun 2017. Hal itu disampaikan oleh dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM, Kuskridho Ambardi, Ph.D, dalam presentasinya yang bertajuk Digital Journalism: The Contemporary Experience and Views of Indonesian Journalists. Tingginya jumlah situs berita secara tak langsung memperingatkan kita sebagai audiens untuk siap menghadapi arus informasi dan kritis dalam mengonsumsinya.
Menurut Ambardi ada lima tren yang mewarnai media daring di Indonesia. Pertama, penekanan pada aspek kecepatan. Kedua, truth in the making. Ketiga, kecenderungan sensationalism is a menu of the day. Keempat, masih bersifat Jakarta sentris. Kelima, media daring di Indonesia seringkali mempraktikan cara kerja public relations dan memelintir suatu isu. Kelima tren tersebut menjadi poin-poin utama yang dapat kita gunakan sebagai titik kritik dalam mengonsumsi berita daring.
Terkait dengan tren ketiga, ada kecenderungan media daring mengedepankan sensasionalitas dibandingkan akurasi sebuah informasi. “Bisa saja konten media tidak berkualitas karena pembacanya juga tidak berkualitas,” ujar Ambardi. Hal ini adalah tantangan bagi para audiens dalam mengonsumsi sebuah informasi.
Ambardi mencontohkan tentang gencarnya beberapa media daring Indonesia dalam memublikasikan promosi proyek Meikarta, sebuah kawasan yang akan dibangun oleh Lippo di Cikarang, Jawa Barat. Apa yang dilakukan oleh media daring tersebut menjadi sebuah paradoks. Sebab, proyek Meikarta sebenarnya belum mendapatkan izin resmi dari pemerintah Provinsi Jawa Barat. Peran media sebagai watchdog pun patut dipertanyakan.
Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Thomas Hanitzsch dari Ludwig–Maximilians-Universität München, Jerman, dalam presentasinya tentang Worlds of Journalism Study, bahwa salah satu peran normatif jurnalisme adalah sebagai watchdog.
“Posisi jurnalis di dalam masyarakat adalah isu yang penting,” kata Hanitzsch.
Ia menyampaikan bahwa peran jurnalistik adalah arena bagi para aktor berebut eksistensi atau transformasi dari identitas jurnalisme itu sendiri. Lain kata, jurnalisme merupakan sebuah arena yang sarat dengan kepentingan berbagai pihak.
Hanitzsch terlibat dalam studi tentang jurnalisme, salah satunya Worlds of Journalism Study (WJS). Proyek WJS tahun 2012-2016 adalah mengkaji peran jurnalisme di masyarakat, mencakup pengaruh otonomi terhadap pemberitaan, pandangan etis jurnalis, kepercayaan institusi publik terhadap jurnalis, dan transformasi jurnalisme secara umum. “Worlds of Journalism Study adalah kajian besar dalam bidang kajian komunikasi. Datanya diambil dari 67 negara di dunia,” kata Hanitzsch sebagai salah satu Principal Investigator WJS untuk negara Jerman.
Merujuk pada hasil proyek penelitian WJS, Hanitzsch berkata bahwa jurnalisme memiliki peran dalam menggerakkan perubahan sosial dan mengatur agenda publik. Di samping itu, peran jurnalisme juga sedikit banyak dipengaruhi oleh rezim politik di negara yang bersangkutan. Dalam presentasi ini, Hanitzsch tidak bermaksud memberikan rekomendasi terhadap bagaimana jurnalisme seharusnya dilakukan di Indonesia. “Saya tidak cukup percaya diri untuk memberikan rekomendasi karena saya memiliki perspektif barat. Indonesia sendiri yang harus mencari cara bagaimana peran jurnalisme yang sesuai bagi Indonesia,” tutupnya.
Ambardi dan Hanitzsch menyampaikan presentasi mereka dalam seminar bertajuk Contemporary Journalism in Digital Era, Senin (4/9) yang dilaksanakan di Convention Hall, Perpustakaan Mandiri FISIPOL UGM. Seminar tersebut merupakan rangkaian program World Class Professor (WCP) yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM bekerja sama dengan Departemen Ilmu Komunikasi UGM, Seminar ini bertujuan untuk mengembangkan kajian dalam Ilmu Komunikasi, secara khusus di bidang jurnalisme. (Humas UGM/Satria)