Golkar dalam era Orde Baru telah berhasil membangun kelembagaan politik yang kuat, tercermin dalam jaringan kesisteman dan organisasi yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Golkar yang berdiri 20 Oktober 1964, kemudian memposisikan sebagai kekuatan politik alternatif dari sistem kepartaian yang bersifat sektarian pada awal-awal Orde Baru.
Dalam perkembangannya, Golkar menjadi kepanjangan tangan rezim yang berkuasa, sehingga selalu mendapatkan kemenangan di setiap pemilu. Meski begitu, Golkar bukan merupakan “partai yang memerintah” (the ruling party), tetapi “partainya orang-orang yang berkuasa” (the ruler’s party).
Menurut Ir Akbar Tanjung, ketika terjadi reformasi dan perubahan politik, Golkar dianggap paling bertanggungjawab atas berbagai keterpurukan yang dihadapi bangsa Indonesia. Golkar dihadapkan berbagai tekanan politik yang sangat keras dari berbagai kelompok masyarakat dan kekuatan politik, yang bermuara pada tuntutan pembubaran Golkar.
Berbagai privilege yang dimiliki Golkar selama Orde Baru juga harus ditanggalkan sejalan diterapkannya sistim politik yang demokratis. Golkar tidak lagi mendapat dukungan militer dan birokrasi, yang di masa lalu menjadi jalur-jalur pendukung.
”Ibarat kapal besar yang akan karam (like the sinking Titanic). Golkar dihadapkan pada masalah “hidup dan mati “ (struggle to survive) yang harus diperjuangkannya,” ujar Akbar.
Ir Akbar Tanjung, Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Kabinet Pembangunan V 1988 -1993 menyampaikan hal itu, saat melangsungkan ujian terbuka Program Doktor Bidang Ilmu Politik, Sabtu (1/9), di Sekolah Pascasarjana UGM. Dalam ujiannya, promovendus didampingi promotor Prof Dr Ichlasul Amal MA dan ko-promotor Prof Dr Mochtar Mas’oed MA serta Dr Burhan D Magenda.
Kata Akbar, perubahan politik bersifat gradual (pola transplacement), sangat menguntungkan Golkar dalam mempertahankan hidupnya. Naiknya BJ Habibie yang berasal dari Golkar, memberi kesempatan untuk melakukan konsolidasi, guna mengantisipasi kemungkinan terburuk yang dapat menghancurkan partai ini.
“Relatif masih kuatnya pengaruh dan jaringan Golkar baik di pemerintahan, DPR dan MPR (legislatif), maupun dalam masyarakat, menjadi modal politik (political capital) penting, yang menjadi jarring pengaman bagi Golkar untuk tidak ikut jatuh bersama rezim Orde Baru yang didukungnya. Untuk dapat berperan dalam kepolitikan baru, Golkar melakukan adaptasi nilai-nilai dan restrukturisasi organisasi serta jaringan,” lanjut pria kelahiran Sibolga 14 Agustus 1945 ini.
Selain itu, suami Krisnina Maharani ini mengungkapkan, nilai-nilai dan kultur menjadi sangat penting bagi kelangsungan hidup Partai Golkar, terutama dalam kaitannya dengan identitas dan kohesivitas partai ini. Oleh karenanya, Partai Golkar tetap mempertahankan nilai-nilai dasar yang menjadi jatidiri Golkar selama Orde Baru.
Namun, kata Akbar, Partai Golkar menyadari adanya kelemahan-kelemahan selama Orde Baru, yaitu tidak mandiri, non-demokratis dan patron-client. Untuk itu, Partai Golkar melakukan berbagai perubahan dengan menerapkan nilai-nilai baru yang demokratis, mandiri, berakar dan responsive terhadap aspirasi rakyat (Paradigma Baru Partai Golkar).
“Dengan demikian, meskipun ada perubahan (change) namun jatidiri partai ini tetap dipertahankan (continuity) sehingga Partai Golkar tetap mendapat dukungan dari masyarakat dalam pemilu,” tukas Menteri Negara Perumahan Rakyat dan Pemukiman Kabinet Pembangunan VII ini.
Dalam desertasi Partai Golkar Dalam Pergolakan Politik Era Reformasi: Tantangan dan respons, Akbar Tanjung lebih lanjut menjelaskan, kasus Partai Golkar menunjukkan partai ini mampu beradaptasi dengan lingkungan politik yang sedang mengalami proses transisi menuju demokrasi, Karena sejak awal Golkar memposisikan diri sebagai kekuatan politik yang terbuka (catch-all party) dan tidak menganut ideology politik ekstrim (baik kiri atau kanan) atau dapat juga disebut sebagai “Partai Tengah”.
“Sikap politik yang moderat dan terbuka tersebut (partai tengah) membuat Partai Golkar dapat fleksibel menyesuaikan diri terhadap perubahan yang sedang berlangsung. Implikasinya adalah bahwa bilamana situasi politik tersebut dialami partai-partai politik yang menganut paham (ideology) sektarian serta tertutup (eksklusif), maka akan sulit bagi partai tersebut untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan politik baru yang terbuka dan plural, karena mengharuskan partai-partai tersebut untuk merubah pahamnya secara drastis,” tukas Ketua Dewan Perwakilan Rakyar RI, 1999-2004 ini.
Dalam ujian yang dihadiri banyak pejabat pusat dan daerah ini, ayah dari Fitri Krisnawati, Karmia Krissanti, Triana Krisandini dan Sekar Krisnauli ini dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude. (Humas UGM)