Yogya, KU
Mengantisipasi krisis energi khususnya dalam pemenuhan Bahan Bakar Minyak (BBM), pemerintah terus mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) seperti biodiesel dan bioetanol. Menurut Direktur Pengolahan Pertamina Ir Suroso, pemerintah telah mencanangkan penggunaan biodiesel sebesar 10%, 15%, dan 20% dari konsumsi total minyak diesel tahun 2010, 2015, dan 2020. Nilai tersebut kata Suroso setara dengan 2,41 juta kiloliter biodiesel tahun 2010, 4,52 juta kiloliter biodiesel tahun 2015 serta 10,22 juta kiloliter biodiesel di tahun 2020.
“Pertamina memang sudah mulai mengembangkan biodiesel meskipun dalam jumlah yang masih sedikit saat ini sekitar 595 juta liter untuk Biosolar dan 4,2 juta liter untuk premium,†kata Suroso kepada wartawan usai mengisi ‘Seminar The Role of Methanol Industry on Sustainable Biodiesel Production and Development of Chemical Industries in Indonesia,’ Jumat (7/9) di KPTU Fakultas Teknik UGM. Ikut hadir mendampingi, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Riset Fakultas Teknik UGM Ir Hari Sulistiyo, SU Ph.D, Presiden Direktur PT Kaltim Methanol Industry Kazuhito Saito, Presiden komisaris PT Kaltim Methanol Industry Ir Wardijasa, Ketua Tim peneliti Biodiesel UGM Dr Supranto.
Menurut Suroso, Pertamina saat ini mulai mensuplai biosolar campuran sebesar 97,5% solar dan 2,5% biodiesel ke 2031 SPBU di Jabotabek dan 19 SPBU di Surabaya. Tambah Suroso, untuk melanjutkan produksi dua bahan jenis bahan bakar ini ia berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih tepat. Salah satunya dalam hal pemberian subsidi yang tidak bisa disamakan dengan subsidi minyak fosil seperti yang ada seperti sekarang ini.
“ Jika kondisinya masih seperti ini ya akan sulit bagi perusahaan untuk melakukan produksi,†katanya.
Presiden Komisaris PT Kaltim Methanol Industry Ir Wardijasa mengungkapkan pengembangan biofuel masih terkendala dengan rendahnya produksi methanol. Di Indonesia, menurutnya baru ada dua perusahaan methanol yakni milik Pertamina yang dioperasionalkan oleh Medco dan PT Kaltim Mehanol Industry.
“Produksi methanol juga masih cukup rendah. Milik pertamina yang mempunyai kapasitas 1000 ton perhari hanya mampu memproduksi 50% saja. Sedangkan produksi kami sekitar 2000 ton perhari. Kita kalah dengan Malaysia yang sudah memproduksi 5.000 ton perhari,†katanya.
Sementara itu Ketua Tim Biodiesel UGM, Dr Supranto, menekankan pentingnya ketersediaan minyak nabati dan methanol dengan harga yang kompetitif karena 90% biaya produksi biodiesel adalah biaya bahan baku. Tim biodiesel UGM kata Supranto tengah meneliti dan merancang pruduksi biodiesel dari bahan baku murah seperti hasil samping industri minyak goring dan minyak goring bekas.
“Dengan target pemerintah tadi diperkirakan kebutuhan methanol mencapai 280.000 ton per tahun yang akan disuplai dari industri dalam negeri,†ungkap Supranto (Humas UGM)