Dalam rangka Purna Tugas Prof Dr Sumijati Atmosudiro, dan memperingati lustrumnya yang ke-IX, Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM menggelar seminar internasional bertajuk “Craft: Past, Present And Futureâ€, di fakultas setempat, Sabtu (8/9). Seminar dibuka Rektor UGM Prof Ir Sudjarwadi MEng PhD, diikuti 200 peserta dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Belgia dan Jerman.
Seminar Internasional Kriya Dulu, Kini dan Mendatang, menurut Dr Inajati Adrisijanti merupakan bentuk penghargaan Jurusan Arkeologi FIB UGM kepada Prof Dr Sumijati Atmosudiro. Seorang Guru Besar di Jurusan Arkeologi FIB UGM, yang telah memasuki usia 65 tahun dan telah mencurahkan perhatiannya pada seni kriya, khususnya gerabah.
Seni kriya merupakan suatu hasil budaya manusia yang sangat hebat. Seni kriya merupakan suatu ekspresi yang sifatnya pengabungan antara simbol sakral dengan non sakral—mengekspresikan konsep budaya ide menjadi kenyataan—yang mempunyai nilai keindahan bagi dirinya dan bagi orang lain. Kadang, hasil Seni kriya tersebut hanya diperuntukkan untuk sesaat, tetapi juga dapat dipakai untuk selamanya. Seni kriya terealisasi dalam berbagai media seperti dalam lontar, bambu, kayu, batu (andesit, pualam granit dsb), serta ataupun gabungan berbagai media. Hal ini menunjukkan bagaimana manusia masa lalu mencoba mengembangkan diri menyemesta.
Sumbangan besar Jurusan Arkeologi FIB UGM pada Seni Kriya terjadi pada tahun 2000. Saat itu Jurusan Arkeologi membantu pengrajin batu akik di Pacitan melalui peningkatan mutu desain.
â€Tadinya masyarakat menjual dalam bentuk akik sederhana. Bongkahan-bongkahan, setelah kita bersama mereka, batu-batu dibentuk barang yang lain, seperti gantungan kunci dan lain-lain,†ujar Inajati.
Sentra kriya akik di daerah itupun akhirnya terus berkembang. â€Hingga saat ini telah terbentuk jalur pawonsari (Pacitan, Wonogiri, Wonosari). Di jalur selatan ini banyak ditemui sentra-sentra industri semacam ini,†lanjut Inajati.
Sementara itu, salah satu panitia seminar Dr Widya Nayati MA mengungkapkan, hasil seni kriya berkait erat dengan perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Dari seni kriya, berbagai bukti adanya perkembangan kebudayaan dapat dipahami. Kontak antar individu—baik dari kelompoknya maupun dengan kelompok lainnya (baik dalam satu wilayah maupun dari luar wilayah geografisnya), menjadikan perkembangan budaya masing-masing kelompoknya.
â€Seni kriya dapat berfungsi sebagai media komunikasi antara satu individu dengan yang lainnya, ataupun antara satu kelompok dengan kelompok lainnya,†ungkap Widya Nayati.
Selain itu, katanya, perlu pola pendidikan menjadikan setiap manusia Indonesia trampil dalam melakukan dan mengembangkan seninya. Pengenalan atas seni kriya, proses pembentukan serta pengenalan atas seni lokal-tradisional pun harus disampaikan kepada generasi sekarang.
Permainan anak tradisional—baik itu othok-othok—misalnya, kata Widya Nayati, merupakan suatu peraminan tradisional yang sangat fantastis dan futuistik. Dengan hanya memainkan alat tersebut, anak akan mampu mengolah dan melenturkan otot tangannya. Anak dibiasakan dengan berbagai bunyi dari alat yang sama—karena satu mainan othok-othok akan menghasilkan bunyi yang saling berbeda.
â€Selain itu, dari othok-othok, anak mampu melihat bagaimana pembuat mengeksploitas alamnya dengan arif—tanpa merusak. Mereka membuat secukupnya, untuk orang lain, dan untuk kebaikan semuanya. Jelas bahwa penemuan Seni kriya merupakan penemuan ’yang beyond the limit’ pada masa itu,†tandasnya.
Sejumlah pembicara tampak hadir dalam seminar ini, seperti Mr Rudi Corens, Drs H Gunardi Kasnowihardjo Mhum, Dra Juhartatik, Dr John N Miksic, Drs Abd Azis Rashid MA, Horst Liebner MA, Prof Soedarso Sp MA, Dr A Agung Suryahadi MEd CA, dan Dra DS Nugrahani.(Humas UGM)