
Menyadari pentingnya buku ini bagi kajian Asia Tenggara, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (FIB UGM) mengadakan diskusi buku Methodology and Research Practice in Southeast Asian Studies yang merupakan kumpulan opini dari para ilmuwan sosial yang fokus pada kajian Asia Tenggara dari berbagai negara, seperti Indonesia, Singapura, Thailand, dan Jerman. Acara diskusi tersebut juga merupakan bagian dari program World Class Professor #2 (WCP #2) yang menghadirkan Professor Judith Schlehe dan Professor Jürgen Rüland dari Freiburg University selaku editor dari buku tersebut dan Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, M.A. sebagai pembedah buku. Para pembicara bersama-sama memperbarui ide mengenai metodologi penelitian yang pernah dibahas tiga tahun lalu dalam acara yang diadakan di Gedung Auditorium Poerbatjaraka FIB UGM pada Kamis (14/9).
Para pembicara membahas perdebatan metodologis yang dibahas dalam buku yang ditulis oleh para ilmuwan sosial peminat kajian Asia Tenggara dari ragam cabang keilmuan. Menurut Jürgen Rüland yang berlatar belakang ilmuwan politik, metode riset yang bersifat universal bisa saja diterapkan di Asia Tenggara. Jürgen memiliki pandangan bahwa metode riset universal bisa dipakai karena metode riset partikular yang sering digunakan oleh para antropolog atau sejarawan kurang sistemik, rentan bias, dan amat sulit untuk dikomparasikan dengan penelitian lainnya.
Pandangan Jürgen ditentang oleh antropolog Judith Schlehe. Menurut Judith, metode riset harus dikontekstualisasikan dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang ditemukan di lapangan. Selain itu, faktor bias yang kerap menganggu pembaca bisa dihindari jika sedari awal peneliti sudah menetapkan keberpihakannya dalam penelitian. Menurutnya, dengan cara itu pembaca bisa tahu kecenderungan apa yang dipilih oleh peneliti. Namun, Judith mengakui bahwa hingga saat ini belum pernah tercipta konsensus dari para ilmuwan sosial terkait metode apa yang cocok diterapkan di wilayah ini. Oleh Karen itu, ia mendorong ilmuwan lokal Asia Tenggara untuk percaya diri berinovasi dengan cara menciptakan metode baru yang cocok dipakai serta melakukan riset kolaboratif dengan ilmuwan lain dari disiplin keilmuan berbeda agar konsensus bisa tercipta.
Sementara itu, tanggapan menarik diberikan oleh Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, M.A. Menurut dosen antropologi budaya tersebut, ide yang diusung oleh Professor Jürgen Rüland merupakan ide lama yang sudah tidak lagi relevan. Selain itu, wacana riset komparatif yang diusung oleh Jürgen dianggapnya tidak memadai untuk dilakukan di wilayah Asia Tenggara. Menurut pandangan Pujo, riset yang bercorak relasional lebih bisa diterapkan dibanding riset bercorak komparatif. “Banyak ilmuwan barat yang membandingkan negara-negara di Asia Tenggara, misal Malaysia dengan Filipina, sebagian berhasil, tapi lebih banyak yang gagal”, ujar Pujo.
Di sisi lain Pujo mengingatkan bahwa ide riset kolaboratif atau inovatif dari Professor Judith Schlehe bisa mengakibatkan lunturnya identitas keilmuan dari para peneliti, Menurutnya, riset sosiologi menjadi bukan sosiologi, antropologi menjadi bukan antropologi. “Ilmuwan sosial terbelah menyikapi hal tersebut, ada yang menganggap itu masalah, ada yang yang beranggapan itu hal yang wajar,” tegasnya. (Humas UGM/Catur)