
Musim kemarau yang terjadi di Indonesia beberapa bulan belakangan ini mulai berdampak kepada masyarakat. Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi kondisi ini akan terus terjadi sampai akhir September, dan hujan baru akan terjadi pada Oktober dan November.
Menurut Dr.-Ing. Ir. Agus Maryono, dosen Magister Teknik Sipil UGM, masalah kekeringan sesungguhnya dapat diselesaikan dengan merubah budaya masyarakat dan beberapa pihak terkait. Budaya tersebut antara lain dengan mempersiapkan diri menghadapi bencana kekeringan.
Belum membudayanya kegiatan “memanen” dan “menabung” air hujan oleh masyarakat dan pemerintah/ pemerintah daerah ini menjadikan tidak adanya persediaan air di masyarakat di saat musim kemarau. Ketidaksiapan masyarakat inilah yang menimbulkan penderitaan kekeringan di berbagai daerah.
“Karena itu, gerakan “memanen” dan “menabung” air hujan mestinya bisa menjadi suatu gerakan, gerakan masyarakat menghadapi bencana kekeringan dan bukan selalu bergantung pada pemerintah,” katanya, di ruang rapat Humas dan Protokol UGM, Rabu (20/9) dalam jumpa pers bertema Menangani Masalah Kekeringan, Banjir dan Kerusakan Lingkungan.
Penyelesaian masalah kekeringan melalui “memanen” dan “menabung” air hujan sekaligus meningkatkan kesiapan masyarakat menghadapi bencana kekeringan, menurut Agus Maryono, dapat dilakukan secara preventif (sebelum terjadi kekeringan) dan kuratif (saat terjadi kekeringan). Cara preventif merupakan upaya antisipasi dan melakukan persiapan di saat musim penghujan sebelumnya. Sedangkan kuratif menggunakan cara-cara pragmatis emergency, misalnya dengan mencari sumber-sumber air, menunggu droping air dan membeli air dan sebagainya.
“Jika hanya cara kuratif yang dijalankan maka hal ini memperlihatkan ketidaksiapan masyarakat menghadapi kekeringan. Apalagi, masyarakat sudah terbiasa dengan menerima bantuan droping air, membeli air dan lain-lain,” katanya.
Beberapa cara preventif “memanen” dan “menabung” air hujan saat musim hujan, diantaranya dengan menampung air hujan dengan PAH, memasukkan air hujan ke sumur-sumur resapan sebanyak-banyaknya dan membuat ekodrainase dengan jargon TRAP (Tampung, Resapkan, Alirkan dan Pelihara). Sementara cara kuratif dengan mencari sumber air/mata air yang masih tersisa di sumber-sumber air sepanjang sungai, sumber air pada sungai bawah tanah, sumber air pada sekitar danau, telaga dan situ, sumber air sekitar rawa, sumber air pada daerah sekitar dan sepanjang saluran irigasi dan drainase.
Agus Maryono yakin dengan melakukan pengelolaan air hujan yang baik dapat meningkatkan kualitas lingkungan disamping mengurangi bencana banjir dan kekeringan. Karena itu, semua ini diharapkan menjadi gerakan yang dapat memberdayakan masyarakat.
“Upaya pengurangan risiko bencana kekeringan dengan mengelola atau “memanen” air hujan merupakan upaya nyata mencegah banjir dan mencegah penurunan kualitas air tanah dan permukaan,” tandasnya. (Humas UGM/ Agung)