Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada mengadakan International Workshop on Free Pasung Program dengan tema “Eliminating Restraint of Persons with Mental Illnes in Indonesia: A Review of Progress.” Salah satu tujuan dari kegiatan ini yakni mengulas jalannya Program Bebas Pasung Indonesia beserta tantangan dan peluangnya. Kegiatan berbentuk workshop ini menghadirkan narasumber ahli dalam beberapa bidang terkait isu pasung. Narasumber yang hadir, diantaranya Prof. Harry Minas (University of Melbourne), Dr. Erminia Colucci (Middlesex University London), dr. Irminsyah, Sp.KJ. (Former Director of Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa, Ministry of Health Indonesia), Drs. Bambang Sugeng, MM. (Ministry of Social Affairs, Indonesia), dan narasumber ahli lainnya. Workshop yang dihadiri para pakar, pemangku kebijakan, hingga masyarakat umum yang peduli terhadap isu pasung ini diselenggarakan selama dua hari yakni pada 23-24 September 2017 di Gedung Fakultas Psikologi UGM.
Prof. Hary menjelaskan saat ini masih banyak ditemukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa di berbagai negara di dunia, seperti Filipina, India, China, dan Indonesia. Akan tetapi, menurut Hary, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang memasukkan isu pasung ke dalam program pemerintahan. Pertemuan ini, menurut Harry menjadi salah satu upaya untuk melakukan review terhadap program Indonesia Bebas Pasung yang telah dilaksanakan pemerintah Indonesia.
Menurut Hary, ada berbagai sebab mengapa praktik pemasungan masih ditemui di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah akses dan ketersediaan pelayanan kesehatan yang dirasa masih kurang. Hary menjelaskan tenaga dan fasilitas pelayanan dasar kesehatan jiwa harus ada di lingkungan masyarakat. Jika pelayanan dasar kesehatan jiwa telah ada maka masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan segera dapat diatasi dan disembuhkan sehingga tidak dilakukan pemasungan.
“Kerap kali masyarakat bingung ketika ada anggota keluarganya yang mengalami gangguan kejiwaan, akhirnya karena ketidaktahuan dan keterbatasan akses pelayanan kesehatan kejiwaan mereka memberlakukan pasung,” ujar Hary.
Selain itu, kemiskinan dan kurangnya biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa menjadi penyebab masyarakat melakukan pemasungan.
Sementara itu, Irmansyah menjelaskan bahwa sejak dilaksanakannya program Indonesia Bebas Pasung, jumlah ditemukannya korban pemasungan menurun. Sejak dicanangkan pada 2010, program tersebut telah banyak melepas korban pasung. Ada berbagai upaya yang diterapkan dalam program Indonesia Bebas Pasung untuk menurunkan persoalan pemasungan. Irmansyah mengatakan bahwa perlakuan satu korban dengan korban lain tentu berbeda yakni sesuai kebutuhan dan kondisi saat ditemukan. Menurut penuturan Irmansyah, beberapa korban bisa dilepas hanya dengan membawanya ke puskesmas, tetapi ada yang harus ditangani secara intensif di rumah sakit.
Irmansyah menerangkan, saat ditemukan kondisi korban pemasungan sangatlah beragam. Ada korban yang ditemukan dengan kondisi masih cukup baik, umumnya belum lama dipasung sehingga dapat segera ditangani. Namu, ada juga korban yang ditemukan dengan kondisi sakit karena infeksi, gizi buruk, dan sangat lemah karena di pasung di luar rumah, biasanya korban telah dipasung dalam waktu yang lama.
“Korban yang telah dipasung cukup lama membuatnya harus mendapatkan pertolongan kesehatan fisik dulu lalu baru mendapatkan pertolongan kejiwaan,” ujar Irmansyah.
Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Kerja Sama, Prof. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc., Ph.D., yang merupakan salah satu penanggung jawab kegiatan workshop tersebut berharap acara ini dapat membantu mempertemukan antara para pakar dan peneliti dengan pihak pemangku kebijkan. Kwartarini mengatakan dari program ini akan diciptakannya suatu draft usulan atau blueprint perihal penanganan pasung.
“Kedepannya, pertemuan semacam ini akan dilakukan secara rutin untuk menyampaikan hasil penelitian Fakultas Psikologi untuk selanjutnya dikembangkan dan dapat diimplementasikan di lingkungan masyarakat,”. (Humas UGM/Catur)