
Ibarat dua sisi mata uang, disamping membuka peluang hadirnya ranah baru untuk mengakses kebutuhan, migrasi tenaga kerja pada dasarnya juga memiliki kerentanan praktik perdagangan manusia dan tindak kejahatan transnasional. Karena itu, upaya pembangunan sosial bagi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) merupakan hal yang mendesak untuk dilaksanakan.
Sussana Eddyono, S.Sos., M.Si., M.A, kandidat doktor dari University of Pittsburgh, mengatakan migrasi merupakan suatu peristiwa yang tidak terhindarkan dalam hidup manusia dan satu dari tujuh orang masuk dalam kelompok ini. Artinya, migran bukan sesuatu yang baru dan fenomena ini dilakukan dengan jumlah pelaku yang tidak banyak.
“Tenaga kerja migran itu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari arus migrasi global. Secara kultural migran tapi bagi orang Minang bagian dari merantau. Fenomena ini sudah dijumpai sejak sekitar tahun 1300-an, jadi migrasi bukan sesuatu yang baru. Tidak hanya dalam konteks ketenagakerjaan, migran bisa juga dalam konteks pernikahan dan lain-lain,” katanya, di ruang Seminar Fisipol UGM Timur, Senin (25/9) pada Seminar Kebijakan Reintegrasi dan Gerakan Pemberdayaan TKI Purna yang digelar Social Development Talks (SODET) Program Pascasarjana PSdK Fisipol UGM.
Menurut Sussana, migrasi tidak hanya terjadi dari negara-negara selatan ke utara, namun juga dari negara-negara berkembang ke negara-negara maju. Data menunjukkan Amerika serikat menjadi negara favorit tujuan para migran yang mencapai hampir 20 persen, disusul Saudi Arabia yang menjadi tujuan migran tenaga kerja Indonesia mencapai 4,2 persen.
Menurut Susanna, ada beberapa negara yang terbuka untuk para migran sehingga bila dilihat dari statistik perbandingan jumlah penduduk dan migran maka negara-negara, seperti Emirat Arab, Qatar, Kuwait menjadi tujuan Indonesia mengirimkan para migran terkait konteks ketenagakerjaan.
“Antara laki-laki dan perempuan yang melakukan migran sebanding, 42 persen migran Asia adalah perempuan, demikian pula di Eropa 52,4 persen, Amerika Utara 51,2. Sementara migrasi dari negara berkembang ke negara maju berkisar 85,3 juta sehingga yang lebih besar adalah migran-migran dari negara berkembang, bagian selatan khatulistiwa yang mencapai 92 persen,” katanya.
Lebih lanjut Sussana menjelaskan kota-kota besar dunia menjadi tujuan para migran. Dengan bekerja di sektor formal atau informal, para migran ini turut berkontribusi bagi berkembangnya kota-kota besar. Tidak selalu pekerja, sebagian dari migran internasional ini bisa pelajar/ mahasiswa, pemusik, pencari suaka, karena menikah dan lain-lain.
Data menunjukkan sebanyak 40-48 persen pekerja migran internasional dari Indonesia adalah perempuan yang bekerja di berbagai jenis pekerjaan. Mereka memiliki peran dan berkontribusi besar bagi perekonomian Indonesia.
“Peran ekonomi dari para tenaga kerja ini sangat besar. Dari dana yang dikirim pulang cukup tinggi, lebih rendah dari investasi asing, namun jauh lebih besar dibandingkan dengan bantuan pembangunan dunia,” katanya.
Sussana menandaskan persoalan-persoalan migran tenaga kerja sangat kompleks. Tidak hanya menyangkut masalah-masalah ketika berangkat dan ketika pulang. Namun, ada persoalan-persoalan dengan keluarga yang ditinggalkan.
Belum lagi persoalan-persoalan dari sisi migran, seperti sakit, kecelakaan saat kerja, hamil dan ketika tidak bisa memenuhi standar pekerjaan. Sementara terkait dengan pekerjaan, misalnya ketika bertemu majikan yang bermasalah tidak digaji, waktu kerja melebihi dari yang seharusnya, kekerasan dan lain-lain.
“Ketika pulang pun bukan menjadi persoalan yang mudah. Kita bayangkan, apakah struktur masyarakat desa bisa menjadi tempat baginya untuk melakukan aktivitas ekonomi, dan ia ingin melakukan aktivitas apa? Meski begitu, kita tetap optimis para tenaga kerja pulang tidak hanya membawa uang, namun membawa pula pengalaman, skill, kemampuan, hal-hal baru yang bisa ditularkan,” katanya.
Drs. AB Rokhman, M.Si, Kepala BP3TKI DIY, mengungkapkan selalu saja ada faktor pendorong dan penarik menjadi tenaga kerja migran. Salah satunya adalah karena faktor ekonomi.
Karena itu, ketika mereka kembali pemerintah memberikan pendampingan untuk pemberdayaan karena tidak sedikit dari mantan TKI ada yang tidak punya modal dan keterampilan, ada yang tidak punya modal tapi punya keterampilan, ada yang punya modal tapi tidak punya keterampilan.
“Kalaupun ada yang punya modal dan keterampilan mereka biasanya bergerak dalam bidang jasa. Oleh karena itu, kita adakan pemberdayaan, apakah itu di bidang kuliner, olahan makanan dan lain-lain,” katanya.
Maizidah Salas, SH, mantan TKI, mengatakan persoalan buruh migran dari saat pra penempatan hingga pasca adalah tidak adanya pendidikan untuk perencanaan keuangan. Di BLK-BLK tidak ada pendidikan untuk perencanaan keuangan. Yang ada mereka hanya dilatih untuk skill bahasa atau skill yang menyangkut pekerjaan.
“Sementara pola-pola pendidikan yang diajarkan tidak memiliki standar, dan akar persoalan buruh migran sesungguhnya adalah dalam hal pengelolaan keuangan. Mereka tidak diajarkan mengelola keuangan dengan baik, tidak pernah memperoleh pendidikan bagaimana mengelola keuangan yang baik, sementara ketika pulang kampung buruh migran dihadapkan dengan menyempitnya lapangan pekerjaan,” katanya. (Humas UGM/ Agung)