
Setiap warga negara memiliki hak untuk mengakses informasi ke setiap badan publik dan penyelenggara negara baik di tingkat eksekutif, legislatif dan yudikatif bahkan di setiap badan usaha milik pusat dan daerah. Keterbukaan informasi yang bisa diakses oleh publik bukan dalam rangka mengetahui ada tidaknya korupsi namun juga mengawasi pengunaan angggaran secara lebih efektif dan efisien. Demikian yang mengemuka dalam seminar keterbukaan informasi publik yang berlangsung di Grha Sabha Praman UGM, Kamis (28/9). Seminar yang diselenggarakan oleh Kominfo, RRI dan UGM ini menghadirkan pembicara, diantaranya Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Kominfo, Dra. Rosarita Niken widyastuti, Stah Ahli Menkominfo, Prof. Henry Subiakto, Pakar Komunikasi UGM, Wisnu Martha Adiputra, Wakil Ketua Komisi Informasi Daerah (KID) DIY, Dewi Amanatun Suryani dan blogger, Erix Soekamti.
Dirjen IKP, Rosarita Niken Widyastuti, mengatakan adanya UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengakses informasi ke penyelenggara negara. Meski demikian, akses informasi tersebut jangan sampai disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. “Hak untuk mendapatkan informasi dari penyelenggaraan negara merupakan bagian dari hak asasi manusia,” katanya.
Menurutnya, masyarakat diharuskan memiliki keberanian untuk meminta akses informasi ke pemerintah dan badan publik karena hal itu diamanatkan oleh UU. “Sehingga masyarakat mendapatkan manfaat dari keterbukaan informasi ini,” ujarnya.
Meski keterbukaan informasi di Indonesia memberikan kebebasan bagi setiap warga negara mendapatkan informasi, namun hak warga untuk mendapatkan perlindungan data pribadi belum dilindungi oleh negara. “Di Asia Tenggara tinggal dua negara yang belum memberikan perlindungan data pribadi, yakni Indonesia dan Laos,” ujarnya.
Perlindungan privasi dan data pribadi tersebut, menurut Niken, diperlukan agar data pribadi seluruh warga negara tidak disalahgunakan oleh pihak dari luar. Apalagi, digunakan untuk kegiatan penipuan dan ekonomi. Niken menyebutkan saat ini kebocoran data pribadi Indonesia termasuk dalam kondisi sangat gawat karena ada praktik jual beli data pribadi. Bahkan, satu data pribadi bisa dijual Rp20 ribu di internet. Tidak hanya itu, ada juga praktik jual beli data nasabah yang memiliki saldo rekening diatas 500 juta. “Kalau sudah ada UU perlindungan data pribadi setiap orang bisa menuntut secara hukum,” paparnya.
Pemerintah, kata Niken, tengah mengusulkan RUU perlindungan data pribadi yang diharapkan masuk dalam prolegnas tahun ini. “Ditargetkan tahun ini RUU masuk prolegnas, masih ada 60 pasal yang tengah diharmonisasi,” katanya.
Henry Subiakto mengatakan perkembangan teknologi digital serta merta telah membawa keterbukaan informasi publik. Meski UU KIP sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun namun belum bisa mengefisiensi penggunaan anggaran penyelengaraan negara. “Di Jepang justru bisa mengefisienkan 40 persen anggaran. Sudah hampir sepuluh tahun ada UU KIP ini, namun belum terjadi efisiensi,” katanya
Menurutnya, masyarakat harus pro aktif dalam menilai dan mengawasi penggunaan anggaran. Ia mencontohkan apabila mobil ambulans atau mobil pemadam kebakaran lebih jelek daripada mobil dinas pejabat berarti pemerintah tidak bijak dalam meggunakan anggran. “Tidak wise jika mobil dinas bagus tapi mobil pemadam kebakaran jelek. Publik memiliki hak untuk bertanya. Karena UU ini mengubah kultur tertutup ke terbuka memunculkan sistem informasi yang responsif,” ujarnya.
Sementara itu, Dewi Amanatun Suryani mengatakan mahasiswa harus ikut serta mengawasi penggunaan anggaran yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan publik. “Sebab keterbukaan informasi bisa untuk mencegah praktik korupsi,” paparnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)