Universitas Gadjah Mada menjadi tuan rumah Rembuk Nasional 2017 yang mengangkat tema “Merawat Bhineka Tinggal Ika dan Memperkokoh Kebangsaan”. Program dari Dewan Pertimbangan Presiden ini melibatkan berbagai pihak, seperti akademisi, praktisi, analis, pelaku usaha, asosiasi profesi, mahasiswa, LSM, budayawan, seniman, wartawan, dan masyarakat umum yang membahas berbagai permasalahan. Topik yan dibahas merupakan topik yang menjadi prioritas pembangunan serta masalah aktual. Beberapa tokoh yang hadir pada acara tersebut, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X, Prof. Anhar Gonggong, Prof. Panut Mulyono, M.Eng., D,Eng., (Rektor UGM), Sidarto Danusubroto (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden), Prof. Dr. R.M. Gunawan Soemodiningrat, M.Ec., Prof, Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., dan beberapa narasumber lain. Rembuk Nasional 2017 Bidang Rembuk 2 tersebut diselenggatakan pada Sabtu (30/9) di Balai Senat UGM.
Rembuk Nasional 2017 membahas 12 Bidang Rembuk (BR) terkait pembangunan dan masalah nasional yang perlu mendapat perhatian khusus dan akan diusulkan sebagai bahan perbaikan dan percepatan untuk 2 tahun kedepan.
Pada kesempatan itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan bahwa Bhineka Tunggal Ika seharusnya dijadikan strategi bangsa. Ia menambahkan bahwa seharusnya para pemimpin mengatakan kepada rakyatnya bahwa “Ika” mengakui “Bhineka” dan itu merupakan sesuatu yang sudah final.
“Berarti apa, kita seperti negara kontinental,” ujar Sultan Hamengku Buwono X.
Menurut Sultan, semua etnik memiliki kesempatan yang sama dalam mendominasi negeri ini. Ia mencontohkan jika ada orang dari suku lain yang tinggal di Yogyakarta mereka tentu boleh menggunakan Bahasa Jawa. Akan tetapi, bukan berarti menjadi suku Jawa.
“Tetap menjadi orang yang baik dari suku manapun maka mereka akan dilindungi oleh konstitusi,” jelasnya.
Gubernur DIY itu juga menegaskan bahwa selama ini kita belum berbicara “Ika” itu memiliki komitmen terhadap “Bhineka. “Kita tidak pernah bicara tentang kita, melainkan aku dan kamu sedangkan aku dan kamu itu untuk kita,” jelasnya.
Dengan demikian, bila kamu tidak menjadi bagian dari aku, maka kamu di luar sehingga seharusnya yang minoritas baik itu etnik maupun agama itu berterima kasih karena dilindungi yang mayoritas. “Bukan yang mayoritas memaksakan kehendak kepada yang minoritas,” tambahnya.
Sementara itu, Rektor UGM, Prof. Panut Mulyono, M.Eng, D.Eng., mengatakan upaya penguatan Bhineka Tunggal Ika juga dapat dimulai dari kampus. Ia memberi contoh bagaimana pendidikan tentang Bhineka Tunggal Ika diberikan kepada mahasiswa melalui perkuliahan Pancasila dan Kewarganegaraan yang merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa UGM.
Upaya memperkuat Bhineka Tunggal Ika tersebut bahkan telah dimulai sejak mahasiswa baru diterima melalui Pelatihan Pembelajar Sukses Mahasiswa Baru PPSMB). Dari kegiatan itu, mahasiswa baru diberi pendidikan terkait Pancasila, keberagaman, dan kewarganegaraan. Selain upaya-upaya tadi, Rektor UGM juga telah memberi arahan khusus bagi dosen untuk selalu menyisipkan pendidikan Pancasila dan kebangsaan di sela-sela perkuliahan.
“Lewat upaya-upaya tadi, diharapkan para mahasiswa bangga terhadap Indonesia, bangga terhadap perbedaan sehingga dapat dihimpun menjadi kekuatan yang satu,” jelas Panut. (Humas UGM/Catur;foto: Bani)