Seiring proses globalisasi, segala paham asing yang tidak koheren dengan Pancasila berpotensi untuk tumbuh dan berkembang dalam alam pikir sebagian bangsa Indonesia. Salah satu paham itu adalah ateisme yang kini telah menjadi fakta kebudayaan global. Padahal, sila Ketuhana Yang Maha Esa pada Pancasila menegaskan seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia dipandu oleh nilai-nilai ketuhanan yang bersifat universal. Karena itu, setiap paham yang cenderung membatasi hubungan dengan Tuhan itu harus ditolak.
Hal itu dikemukan oleh Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Humaniora, IAIN Salatiga, Agus Ahmad Suaidi, Lc., M.A., pada ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Filsafat UGM, Rabu (4/10). Dalam disertasinya yang berjudul Problem Kejahatan dalam Perspektif Fenomenologi Edmund Husserl Kontribusinya Bagi Penguatan Landasan Filosofis Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Agus mengatakan paham ateisme berkorelasi positif dengan intoleransi karena ada pandangan bahwa agama adalah musuh dan musuh identik dengan penjahat. Menurutnya, untuk menangkal ateisme tidak cukup dilakukan dengan slogan-slogan agama atau ideologi tetapi harus mampu membantah poin demi poin pemikiran ateis. “Apalagi kemiskinan bisa mendekatkan orang pada ateisme, namun pengalaman di Eropa, kesejahteraan juga menyebabkan orang bisa menjadi ateis,” katanya.
Namun demikian, rasa ketuhanan juga dapat terkikis oleh sikap yang ditumbuhkembangkan di lingkungan akademis yakni kritisme atas lembaga agama dan nilai atau ide-ide agama. Kritisme ini dapat memantik ateisme. Namun, sejauh kritisme menyangkut aspek kelembagaaan sekuler maka tidak terlalu riskan, namun jika sudah menyasar nilai-nilai suci agama maka pertanda ateisme sudah mulai muncul. “Kritisme atas nilai-nilai agama akan langsung berimplikasi pada peminggiran peran agama itu sendiri dalam kehidupan,” katanya.
Ia berkesimpulan, merawat hubungan manusia dengan Tuhan dan pada saat yang sama bersikap positif terhadap kehidupan akan melahirkan kehidupan yang penuh makna dan seimbang antara jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, pribadi dan masyarakat.
Soal penanggulangan problem kejahataan korupsi dan sebagainya, menurutnya, tidak bisa diselesaikan lewat penindakan hukum semata. Ia mengatakan bahwa proses ke arah pencegahan korupsi bisa dimulai dari ruang lingkup keluarga tentang pentingnya anggota keluarga untuk menghindari perilaku kejahatan serta menguatkan peran agama dan perilaku moral yang baik.
Ia berpendapat lembaga hukum semacam KPK tidak akan menyelesaikan masalah korupsi pada operasi tangkap tangan (OTT) karena perilaku korupsi faktanya terus bertambah. Untuk itu ia mengusulkan agar KPK juga lebih serius pada upaya proses pencegahan. “Saya melihatnya para koruptor dan calon koruptor akan bertambah sementara sumber daya KPK terbatas,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)