Indonesia saat ini masih memiliki kawasan hutan sekitar 110 juta hektar. Namun, akibat degradasi dan kerusakan jumlah tersebut menyusut menjadi kurang dari 100 juta hektar.
“Informasi-informasi terakhir sudah di bawah 100 juta hektar karena degradasi dan kerusakan. Sebanyak 65 persen hutan yang dimiliki merupakan hutan produksi, 23 persen hutan lindung, dan 21 persen hutan konservasi,” ujar Ir. Herry Subagiadi, M.Sc, Sekretaris Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, di Fakultas Biologi UGM, Senin (9/10) saat berlangsung Seminar Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Konservasi SDA.
Menurut Herry Subagiadi sebanyak 21 persen atau 27,5 juta hektar hutan konservasi dibagi ke dalam beberapa status, ada cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional hingga dengan KSA dan KPA. Dari berbagai status ini, taman nasional yang memegang porsi paling luas.
“Jadi, saat ini di Indonesia punya 54 taman nasional dan 51 sudah ada unit pengelolanya. Sementara itu, yang Jamrud di Riau, Gunung Waras di Bangka Belitung dan Gandang Dewata di Sulawesi Barat belum ada unit pengelolanya sehingga pengeloaan masih dititipkan ke BKSDA setempat,” katanya.
Berbicara soal potensi keanekaragaman hayati pada kawasan konservasi 27,5 juta hektar, kata Herry, terdapat 47,9 ribu lebih keanekaragaman hayati dan sebagian besar adalah pohon. Terkait keanekaragaman hayati ini, katanya, masalah kedepan yang harus dihadapi menyangkut persoalan mikroba.
Mikroba ini, menurutnya, bisa menjadi masalah sekaligus tantangan untuk pengembangan lebih lanjut. Selain itu, mikroba adalah salah satu unsur yang sangat sensitif, sekali satu sistem mikronya hilang maka akan hilang dan tidak akan pernah lagi diketahui fungsinya, kelebihan dan lain-lain.
“Padahal, mungkin ia memiliki pengaruh yang sangat penting terhadap mikro climate, makro climate atau climate change sekalian. Bagaimana kelimpahan potensi kita perlu dieksplorasi secara maksimal dengan perlu kerja keras kita bersama,” katanya.
Seminar Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Konservasi SDA digelar Fakultas Biologi UGM memeriahkan ulang tahun ke-43 Matalabiogama. Dalam seminar ini diisi kerja sama antara Fakultas Biologi UGM dengan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem serta penyerahan buku soal konservasi hutan.
Herry menandaskan banyak masalah konservasi di Indonesia, terutama di kawasan hutan konservasi yang mencapai luasan sekitar 27,5 juta hektar. Persoalan tersebu diantaranya keterlanjuran perambahan hutan yang terjadi sebelum adanya kawasan konservasi atau ketika kawasan konservasi sudah ditetapkan.
Akibat tidak dilakukan pengawasan yang sangat ketat, perambahan terus terjadi beberapa tahun, dibiarkan dan terus berkembang. Persoalan perambahan ini belum dapat diselesaikan secara rasional hingga era-era kemarin.
“Di kawasan hutan konservasi banyak sekali keterlanjuran dan salah satunya disebabkan masyarakat setempat atau ingin mencari kehidupan. Jadi, lebih karena faktor kemiskinan,” katanya.
Belum lagi soal perburuan dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar secara ilegal yang hingga kini masih berlangsung. Upaya-upaya pengendalian sesunguhnya telah diupayakan, namun tetap saja belum tuntas.
“Nampaknya, penegakan hukum belum diprioritaskan bagi tokoh intelektual dan pemuda. Penegakkan hukum baru diprioritaskan pada pelaku di lapangan sehingga tidak bisa tuntas,” imbuhnya.
Sementara itu, sambutan Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Ir. Wiratno, M.Sc, yang dibacakan Evi Indraswati memberi apresiasi ulang tahun Matalabiogama ke-43. Matalabiogama dinilai sebagai kawah candradimuka dan tempat penggemblengan calon-calon pejuang konservasi dan pembela lingkungan yang sangat penting untuk Indonesia.
“Karena itu, saya undang para mahasiswa untuk mengunjungi, menikmati dan mengeksplorasi 27,5 juta hektar kawasan konservasi,” kata Evi. (Humas UGM/ Agung)