Prof. Dr. Partini, S.U., dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Selasa (10/10) di Balai Senat UGM. Wanita kelahiran Klaten, 68 tahun lalu ini dikukuhkan sebagai Guru Besar usai menyampaikan pidato pengukuhan berjudul Perubahan Peranan Perempuan: Peluang dan Tantangan.
Dalam pidatonya, Partini menyebutkan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan perubahan peranan dan perilaku manusia, khususnya perempuan. Perkembangan ideologi gender sebagai dampak gerakan feminis dan perkembangan teknologi berdampak signifikan pada perubahan sikap dan perilaku perempuan.
“Terjadi perubahan peran perempuan di era digital yang mencakup banyak aspek. Beberapa diantaranya terjadi pada aspek pendidikan dan pekerjaan serta aspek pernikahan dan transformasi sistem nilai dan budaya pada generasi penerusnya,” urainya.
Pergeseran peran perempuan dalam pendidikan dan pekerjaan diawali dengan meningkatnya pendidikan dan masuknya perempuan dalam pendidikan formal. Fenomena ini terjadi sejak dimplementasikannya perspektif Women in Development dan Woment and Development. Terjadinya pergeseran dalam lapangan pekerjaan juga tidak lepas dari semakin banyaknya perempuan yang berpendidikan menengah atas dan tinggi.
“Meningkatnya pendidikan perempuan telah mendorong perempuan Indonesia untuk menjalankan pekerjaan secara profesional yang menjadikannya setara dalam kemampuan dan posisi struktural,” katanya.
Pergeseran peran perempuan juga berlangsung dalam pembentukan institusi keluarga serta pengasuhan dan pendidikan anak. Laki-laki saat ini mengalami proses domestifikasi sebagai pria baru yang tidak harus tampil gagah, tetapi menjadi pria elegan yang berempati pada pekerjaan domestik. Disebutkan Partini, pasangan generasi milenial juga cenderung menunda atau membatasi diri dalam memiliki anak karena jumlah anak dipandang berkorelasi dengan ambivalensi yang tinggi dan konflik kepentingan berkepanjangan.
“Kehidupan rumah tangga keluarga milenial tidak harus memenuhi konsep somah (membangun keluarga) masa lalu karena somah dan rumah bagi mereka lebih diposisikan sebagai tempat transit,” ujarnya.
Sementara dalam pendidikan anak, lanjutnya, perempuan memilih menunda pernikahan, menjalani commuter marriage, atau hanya memiliki satu anak dengan alasan pertimbangan karier. Hal ini menegaskan terjadinya pergeseran peranan perempuan dalam membangun keluarga. Kecenderungan ini memunculkan sejumlah persoalan seperti rentannya kepercayaan terhadap pasangan, perselingkuhan, bahkan perceraian.
“Makna dan wibawa lembaga pernikahan semakin luntur dan tidak lagi dianggap sakral. Institusi perkawinan sebatas sebagai lembaga formal yang berfungsi hanya sebagai formalitas,” paparnya.
Kondisi ini menjadi tantangan bagi perempuan generasi milenial dalam menjaga dan meningkatkan eksitensi mereka dalam berbagai bidang. Selain itu, bisa menjaga keharmonisan rumah tangga dan berkontribusi dalam pekerjaan dan lingkungan masyarakat. (Humas UGM/Ika; foto: Firsto)