Dalam kapasitasnya sebagai teks sastra, cerita Tantri dipandang tidak hanya bernilai estetis, namun mengandung pula nilai-nilai filosofis. Ia dianggap tidak sekedar sebagai sarana penghibur atau bersifat sekuler, namun juga bersifat religius.
“Hal ini memang seiring dengan keberadaan teks Tantri sebagai sastra niti dan sastra yantra,†ujar Drs I Nyoman Suarka MHum, saat ujian doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Jum’at, (9/2). Dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali tersebut mempertahankan desertasi berjudul “Kidung Tantri Pisacarana: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Pendekatan Semiotikâ€.
Dalam kedudukannya sebagai teks transformasi dari hipogram Tantri Kamandaka Jawa Kuna dan Kidung Ajidarma, Kidung Tantri Pisacarana adalah kaeswaryan yang diaktualisasikan ke dalam model andiwasraya. Seiring dengan matriks kaeswaryan dan model andiswaraya terjadi eksploitasi tokoh Haridarma menjadi Ajidarma.
“Dengan cara itu, kedua teks hipogram, yakni Tantri Kamandaka dan Kidung Ajidarma digabung menjadi satu teks transformasi, yakni Kidung Tantri Pisacarana,†tambah suami Ni Wayan Arini.
Lebih lanjut, Nyoman Suarka menjelaskan, dengan melihat matriks yang merupakan pusat makna, maka dapat dikatakan makna Kidung Tantri Pisacarana adalah raja yang ideal, raja yang mampu mendapatkan kekuasaan berdaulat, kekuasaan adikodrati atau kaeswaryan melalui upaya persekutuan dengan dewa atau andiswaraya serta pendalaman ajaran suci atau aji. Hal ini seiring dengan kedudukan teks Kidung Tantri Pisacarana sebagai teks Tantra yang memiliki ciri sentral penyatuan jiwa individual dengan jiwa kosmis atau jiwa universal.
Kemudian, kata Nyoman, jalan yang ditempuh untuk mencapai penyatuan jiwa individu dengan jiwa kosmis adalah dengan yoga. Jalan penyatuan jiwa dalam teks Tantri Pisacarana tersebut, diaktualisasikan melalui model andiswaraya.
“Karena itu, praktek yoga menjadi integral dan istimewa dalam ajaran Tantra. Dalam rangka yoga, seorang yogi membutuhkan alat-alat bantu atau yantra untuk mengkonsentrasikan pikiran. Alat-alat atau yantra yang digunakan meruapakan sarana yang dapat dirasakan melalui panca indra, seperti pengucapan mantra, benda-benda, nyanyian suci atau kidung, dan sikap tangan yang mempunyai makna tertentu atau mudra,†lanjut Ketua Pusat Layanan dan Pengkajian Lontar, Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Bali.
Setelah mempertahankan desertasinya, alumnus magister program studi ilmu sastra, Jurusan ilmu-ilmu Humaniora PPs UGM tahun 1997 ini, dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan, sekaligus meraih gelar doktor bidang ilmu sastra dari UGM. (Humas UGM)