Dari survey yang dilakukan terhadap 2268 anak berusia 7-13 tahun yang diperiksa dari 23 Sekolah Dasar di Yogyakarta, sebanyak 12 sekolah dasar berasal dari daerah perkotaan dan 11 dari pedesaan yang tersebar di 5 Kabupaten di DIY. Kejadian myopia (rabun jauh) pada anak usia sekolah dasar di DIY adalah 8,29% dengan prevalensi di Kota dan di desa masing-masing 9,49% dan 6,87%.
Demikian hasil penelitian yang disampaikan oleh dr. Agus Supartoto di Ruang Senat Fakultas Kedokteran UGM, Senin (12/1). Menurut dokter spesialis mata ini, sebagian besar 62,8% penderita myopia adalah anak-anak dari daerah perkotaan. Sedangkan dari keseluruhan subyek myopia ini, 5% diantaranya tergolong penderita myopia tinggi yang dicirikan dengan ukuran kacamata lebih dari minus 5 Dioptri.
“Anak perempuan lebih banyak menderita myopia dari pada anak laki-laki, dengan perbandingan perempuan terhadap laki-laki 1,4 : 1. Perbandingan serupa pada myopia tingggi adalah 3,5 : 1. Sebanyak 30% penderita myopia berasal dari keluarga dengan golongan ekonomi menengah ke atas,†ujar Staf Bagian Poliklinik RSP Sardjito ini
Agus Supartoto menuturkan bahwa kelainan myopia tidak hanya mengganggu secara fisik tetapi juga dari segi sosial ekonomi, dimana penderita harus bergantung terhadap kaca mata atau lensa kontak sepanjang hidupnya. “Tidak hanya itu, myopia pada anak-anak juga akan berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan, aktivitas sosial, bahkan aspek psikologis si anak,†jelas dr. Agus yang mengaku melakukan penelitian selama 6 bulan pada tahun 2006.
Di masyarakat Yogyakarta, kelainan myopia kurang mendapat perhatian yang serius, padahal kelainan miopia merupakan kelainan refraksi terbanyak di dunia dan mungkin dapat menjadi penurunan tajam penglihatan yang serius. “Di Indonesia masih sedikit sekali data yang menggambarkan perkembangan miopia pada anak, terutama anak usia Sekolah Dasar. Pada usia tersebut terjadi perubahan yang sangat signifikan terhadap perkembangan myopia,†ucap Dosen FK UGM ini.
Ia menjelaskan bahwa ukuran antropometrik tubuh berupa tinggi badan, berat badan, indeks massa tubuh, lingkar kepala, serta lingkar lengan atas, semuanya tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian myopia. Aktifitas-aktifitas dekat (near work) seperti bermain bermain video game, komputer, membaca buku, tidak terpengaruh bermakna terhadap myopia, kecuali lama belajar. Anak dengan myopia tinggi lebih lama waktu belajarnya dari pada anak dengan myopia sedang atau ringan.
Faktor genetika memang sangat berperan, tetapi belakangan diketahui bahwa faktor lingkungan terutama aktivitas melihat dekat mempunyai pengaruh yang sangat penting baik terhadap angka kejadian myopia maupun terhadap progresifitas myopia.
Sehubungan dalam mengurangi tingkat prevelensi myopia di Yogyakarta, maka Fakultas Kedokteran yang bekerjasama dengan RSP Dr. Sardjito dan Rotary Club Malioboro, mengadakan operasi katarak gratis di poliklinik RS Sardjito, 23-25 Februari. “Dalam memeriahkan Dies Natalis FK UGM ke -61 dan ulang tahun Sardjito yang ke 25, kami menyediakan pelayanan operasi katarak secara gratis pada 20 pasien yang berasal dari masyarakat kurang mampu. Sedangkan dari anggota Rotary kita berikan jatah 20 pasien juga,â€kata Agus (Humas UGM)