Pakar Hukum Agraria UGM, Prof. Dr. Nur Hasan Ismail, mengkritik fenomena melambungnya harga tanah yang saat ini sudah menjadi barang komoditas. Minimnya intervensi negara dalam mengatur harga tanah menjadikan kepemiliikan tanah berpindah tangan dari warga ke pemilik modal sehingga menutup akses kelompok masyarakat miskin yang terpaksa hidup di pinggiran kali dan pinggiran jalur rel kereta api. “Ketimpangan di perkotaan cukup memprihatinkan, orang akhirnya hidup di pinggir kali atau pinggir rel karena tidak memiliki tanah,” kata Nur Hasan dalam Talkshow Reforma Agraria, Mewujudkan Wacana Menjadi Aksi Nyata yang berlangsung di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Kamis (12/10).
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum UGM ini, melambungnya harga tanah di perkotaan dan mudahnya berpindah kepemilikan tanah disebabkan minimnya intervensi pemerintah dalam mengatur harga tanah. “Harga tanah tidak bisa dikontrol, seolah-olah negara tidak bisa dikontrol. Negara paling liberal sekalipun harga tanah tetap bisa dikontrol,” imbuhnya.
Selain tidak adanya intervensi negara, kata Nur Hasan, tingkat edukasi masyarakat tentang aturan penjualan tanah berupa hak guna bangunan masih sangat rendah. Padahal, tanah tidak dijual kepada pemilik modal atau pengusaha, bisa dalam bentuk hak guna bangunan sehingga si pemilik tanah tidak kehilangan hak atas tanah. “Itu yang tidak dipahami oleh masyarakat kita dan pemerintah sudah lupa pada ketentuan itu,” katanya.
Nur Hasan mengusulkan agar warga pemilik tanah apabila ingin menjual tanahnya sebaiknya disewakan saja dalam bentuk hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah, misalnya dengan menyewakan selama 20 tahun sehingga hak milik atas tanah tidak hilang.”Yang punya tidak kehilangan hak miliknya dan mendapat kompensasi, si pengusaha bisa terus menjalankan usahanya,” ungkapnya.
Fenomena tidak terkontrol harga tanah di perkotaan, menurut Nur Hasan, sudah cukup memprihatinkan sehingga menutup akses masyrakat kecil untuk tinggal di perkotaan. Selain itu, pemerintah juga kurang mengontrol hak pengelolaan lahan hutan untuk perkebunan. Pasalnya, pengelolaan lahan hutan kepada pengusaha selama ini hanya dimanfaatkan sekitar 15-20 persen saja. Namun, luas area atas pengelolaan tersebut dijamin seluruhnya ke perbankan baik yang ada di Indonesia maupun bank dari luar. “Dari 200 ribu hektar misalnya, sekitar 15 atau 20 persen digunakan sungguh-sungguh, lalu 200 hektar dijaminkan ke Bank, Indonesia dicuri secara terang-terangan dan sah,” paparnya.
Ia mengharapkan agar pemerintah pusat dan daerah memperhatikan fenomena tidak terkontrolnya harga tanah dan meningkatnya edukasi pada masyarakat untuk tidak secara gampang menjual tanahnya pada pemilik modal.
Dalam kesempatan itu, ia sempat menyinggung program reforma agraria yang dijalankan oleh pemerintah yang tidak cukup hanya dengan membuka akses bagi kepemilikan tanah, namun juga membuka akses bagi modal dan pasar. “Tidak cukup hanya bagi-bagi tanah, namun membuka akses masyarakat pada modal dan akses pada pasar. Itu pun bila dilakukan secara sungguh sungguh,” ungkapnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)