Apakah persoalan banjir adalah masalah ketidaktahuan (crisis of knowledge) ataukah masalah ketidakmauan (crisis of political will). Ada indikasi bahwa persoalan banjir Jakarta merupakan permasalahan ketidakpekaan pemangku kepentingan terhadap masalah-masalah pembangunan yang memiliki perspektif jangka panjang. Pemberitaan media mengenai Jakarta menunjukkan bahwa persoalan pengelolaan banjir masih bias Jakarta, padahal daerah-daerah lain juga perlu perhatian yang tidak kalah pentingnya.
Demikian hasil kesimpulan diskusi masalah Banjir yang dikoordinasikan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM bekerjasama dengan pusat studi-pusat studi yang berada di Universitas Gadjah Mada. Hadir beberapa pembicara diantaranya Dr. Adam Pamudji Rahardjo (Fakultas Teknik), Drs. Trijoko, MS. (Pusat Studi Kelautan dan Perikanan), Dr. Bakti Setiawan (Fakultas Teknik), Drs. Darmakusuma, MS. (Pusat Studi Lingkungan Hidup), Dr. Susetyawan (Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan), Ir. Ambar Kusumandari, MES. (Fakultas Kehutanan), Prof. Dr. dr. Sutaryo (Pusat Studi Bioteknologi), Dr-Ing. Ir. Agus Maryono (Fakultas Teknik), Dr. Sunarto (Pusat Studi Bencana).
Dari 13 hal menjadi kemungkinan penyebab banjir misalnya, hanya ada 3 faktor yang merupakan faktor alam, selebihnya adalah akibat tindakan manusia. Faktor alam tentunya sangat menentukan terjadinya banjir “Dari fenomena fisik (alam) yang ada, terjadinya pasang purnama (pasang tinggi), curah hujan ekstrim di Jakarta dan Bogor selama 5 hari, dan malfungsi dari tata ruang dan eksploitasi berlebih dari alam merupakan faktor yang menyebabkan timbulnya volume air hujan yang mengalir ke permukaan secara luar biasa. Untuk permasalahan perubahan guna lahan di kawasan Bopunjur, masih perlu pengkajian lebih lanjut mengenai dampaknya serta kemungkinan intervensi teknologi pengelolaan banjir dalam menyimpulkan pengaruhnya terhadap timbulnya banjir,†kata Dr. Sunarto.
Menurutnya, terjadinya banjir (excess water) sebenarnya ada di kawasan Bopunjur, sedangkan Jakarta menjadi tempat genangan (Inundasi). Tutupan lahan karena hutan di Jawa (35%) yang minim merupakan persoalan yang kompleks dan memberikan kontribusi terhadap kemampuan penyerapan lokal dari air hujan. Hasil pencitraan dengan Landsat menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan guna lahan (deforestation) di Gunung Pangrango yang signifikan.
Adapun Dr. Susetyawan memaparkan tentang konsep pemindahan ibukota Jakarta ke tempat lain yang masih perlu pembahasan yang lebih jauh dan lebih teliti. Hal ini menurutnya perlu karena ada banyak hal yang harus diperhatikan barkaitan dengan manfaat dan problema yang akan muncul.
Sedangkan Dr-Ing. Ir. Agus Maryono lebih membahas permasalahan masterplan pembangunan DKI yang lebih fokus pada transportasi darat, bukan pada revitalisasi sungai sabagai alat transpotasi dan penyerapan air. “Masterplan banjir DKI belum mampu mengakomodasi atau justru mengantisipasi perubahan cepat dari pembangunan perkotaan. Sebagai contoh, di Jakarta telah terjadi konversi dari daerah rawa (Rawasari, Rawamangun, Rawabadak, Rawajati) menjadi kawasan terbangun,†tukasnya.
Agus Maryono menambahkan bahwa konsep Jabodetabek dalam perspektif pengelolaan banjir harus dikembangkan menjadi Jatasebeker (Jakarta Tangerang Serang Bekasi Krawang) karena berkaitan dengan pengelolaan sungai. Selain itu, adanya desentralisasi daerah (otonomi daerah) tidak boleh menjadi kendala pengelolaan banjir lintas daerah. Penambahan tutupan hutan di wilayah hulu DAS. Pemerintah DKI Jakarta perlu memperhatikan skala pembangunan kota di Utara Jakarta sehingga tidak membebani ruang kota dan menyebabkan perubahan muka tanah. Sistem pendidikan harus juga mengakomodasi muatan lokal masalah lingkungan khususnya pengelolaan air dan banjir.
Prof. Sutaryo lebih menyoroti persolan kesehatan masyarakat yang ditimbulkan dari dampak bencana banjir. Menurutnya, persiapan yang kurang menyebabkan kelompok rentan (miskin, anak-anak, wanita hamil dan usia lanjut) ini menjadi potensi korban lanjutan akibat banjir, terutama akibat munculnya penyakit. â€Kontrol penyebaran penyakit perlu dilakukan dengan segera dan prioritas harus diberikan kepada upaya perolehan air bersih dan listrik,†kata Kepala Pusat studi Biotek ini.
Dari berbagai hasil diskusi para pakar ini dihasilkan beberapa masukan sebagai salah satu strategi pengelolaan banjir, beberapa rekomendasi yang dihasilkan diantaranya; Jangka pendek: Penyuluhan penyakit menular (diare), air bersih, pembuangan limbah domestik; dukungan logistik distribusi obat; pemantauan dan penekanan insektisida vektor; Surveilans nutrisi bagi penyediaan susu tambahan yang baik perlu disediakan untuk menghindari timbulnya gangguan pencernaan akibat ketersediaan air yang buruk.
Jangka menengah: Post traumatik stress disorder (PTSD) bagi masyarakat korban banjir perlu diatasi dengan program konseling yang cukup; Pengelolaan rawa sebagai terminal air buangan sebelum air masuk ke laut. Salah satunya adalah retarding basin dan revitalisasi situ dan rawa. Manajemen endapan sedimen perlu dikembangkan secara komprehensif. Perlu segera ditetapkan sistem peringatan dini dan sistem evakuasi yang dapat diimplementasikan, termasuk pengadaan peta zonasi kerawanan banjir.
Jangka panjang: Pembangunan perkotaan di masa datang perlu untuk mengakomodasikan persoalan kemanusiaan (humanity) dan komitmen kuat untuk mengatasi masalah banjir. Selain itu, tetap diperlukan komitmen penegakan hukum dan pelibatan masyarakat secara aktif untuk menjaga kelestarian sungai melalui berbagai forum komunitas.(Humas UGM)