Korupsi sudah ditetapkan sebagai tindakan kejahatan luar biasa bahkan dianggap perbuatan yang melanggar norma dan aturan yang sudah dibuat oleh negara. Meski sudah dilakukan upaya pencegahan dan penindakan tegas, namun perilaku korupsi tetap saja marak serta sulit diberantas. Masih maraknya perilaku korupsi ditengarai karena adanya kebiasaan, sikap permisif pada perilaku korupsi sehingga kejahatan korupsi sulit dicegah. Demikian yang mengemuka dalam International Short Course on Psychology (ISCP) yang bertajuk “Korupsi, Budaya dan Moral Psikologi; Dari Riset ke Kebijakan” yang berlangsung di ruang G-100 Fakultas Psikologi. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Fakultas Psikologi UGM ini menghadirkan pembicara utama, diantaranya pengamat kriminal ekonomi korupsi, Dr. Rimawan Pradiptyo, Psikolog UGM, Dr. Kwartarini Wahyu Yunarti dan Dosen Psikologi UGM, Galang Lufiyanto, M.Psi., Ph.D.
Kwartarini menilai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai pendidikan antikorupsi dari anak-anak sejak dini. Menurutnya, anak-anak harus ditanamkan juga tentang pentingnya menjaga integritas, komitmen, belajar bertangggungjawab, mengedepankan etika dan moral serta menghargai perbedaan dan keragaman. “Jangan lagi anak-anak kita diberikan isu tentang kolonialisme, perbudakan dan politik pecah belah,” kata Kwartarini.
Kwartarini menuturkan perilaku korupsi sudah mengakar kuat sejak dulu di era zaman kerajaan dan masyarakat terbiasa membayar upeti pada Raja. Lalu, di era kemerdekaan hal itu masih berlangsung dengan perilaku suap menyuap di kalangan pejabat, birokrat dan pengusaha.
Di saat yang sama, kata Kwartarini, generasi muda kehilangan role model untuk menjadi panutan dan teladan mereka dalam menjaga moral dan etika serta menjauhkan mereka dari perilaku korupsi. Menurutnya, apabila korupsi masih dianggap permisif di lingkungannya mau tidak mau bisa menyebabkan seseorang akhirnya melakukan perbuatan serupa. “Orang di sekelilingnya melakukan hal yang sama karena ia terbiasa melihat, mendengar dan menyaksikan sendiri,” katanya.
Dr Rimawan Pradiptyo mengatakan pelaku korupsi di Indonesia didominasi mereka yang berpenghasilan tinggi bahkan berasal dari lulusan pendidikan tinggi, “Meski korupsi juga tidak tidak mengenal batasan usia,” katanya.
Ia menambahkan, pola korupsi yang dilakukan selama ini menggunakan teknik yang sangat canggih agar tidak diketahui oleh aparat penegak hukum. Kalau pun tengah dicurigai atau disorot oleh penegak hukum, para pelaku korupsi tidak segan-segan memanfaatkan kekuasaan mereka untuk mencegah adanya proses investigasi. “Mereka menggunakan kekuasaan untuk mencegah investigasi,” ungkapnya.
Berbeda dengan negara maju, kata Rimawan, pencegahan korupsi dilakukan dengan melakukan penguatan lembaga. Sebaliknya, di negara berkembang seperti di Indonesia pencegahan korupsi masih berkutat soal penegakan hukum dan penindakan pelaku korupsi.
Seperti diketahui, kursus singkat tingkat internasional bidang psikologi ini berlangsung hingga 27 Oktober mendatang diikuti peserta dari sepuluh negara, diantaranya Pakistan, Australia, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, Singapura, Tiongkok, Ukraina, dan Slovakia. Kegiatan ini didukung oleh Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, United Nations on Drugs and Srime (UNODC) dan Komisi Pemberantasan Korupsi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)