Selama kurun waktu 1870an hingga 1880an, larangan terhadap praktik perbudakan dan perdagangan budak semakin diperketat. Dalam periode ini, praktik perbudakan dan perdagangan budak, baik legal maupun ilegal (sembunyi-sembunyi) semakin berkurang jumlahnya.
“Bahkan, sebagian budak yang masih ada, dimerdekakan melalui kebijakan penebusan. Meski begitu, praktik perbudakan sama sekali belum dapat dihilangkan. Perlakuan-perlakuan yang mirip dengan perbudakan yang dialami para kuli kontrak yang bekerja di sejumlah perkebunan dalam kawasan Selat, menunjukkan praktik ini masih tetap bertahan,†ujar Drs Anatona M Hum memaparkan hasil penelitiannya.
Staf pengajar Universitas Andalas, Padang menyampaikan hal tersebut, saat ujian doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin, (12/2). Promovendus mempertahankan desertasi berjudul “Perbudakan dan Perdagangan Budak di Kawasan Selat Malaka 1786 – 1880anâ€, dengan bertindak selaku promotor Prof Dr Bambang Purwanto MA.
Kata Anatona, dalam kurun waktu 1820 hingga 1870-an sesungguhnya muncul kesadaran untuk menentang praktik perbudakan dan perdagangan budak. Hal itu, ditandai dengan lahirnya peraturan-peraturan yang melarang aktivitas perbudakan dan perdagangan budak.
Munculnya aturan-aturan tersebut, kata dia, membawa dampak yang tidak seragam. Di beberapa wilayah Selat yang dikuasai Inggris, perdagangan budak legal berangsur-angsur berhenti. Namun, sebagai gantinya muncul perdagangan budak yang dilakukan secara “gelapâ€.
“Pengiriman budak ke wilayah yang berada di bawah pengaruh Inggris dilakukan dengan melalui penyelundupan secara diam-diam da sembunyi-sembunyi. Berbeda, dengan wilayah Selat yang dikuasai Belanda dan wilayah-wilayah Selat yang masih merdeka. Larangan terhadap perbudakan dan perdagangan budak di dua wilayah tersebut kurang ditanggapi secara serius dan bersungguh-sungguh. Di kedua wilayah tersebut, aktivitas perbudakan dan perdagangan budak relatif masih berlangsung secara legal meski intensitasnya menurun,†tambah pria kelahiran Padang, 11 Oktober 1965.
Lebih lanjut, Anatona menjelaskan, bahwa antara tahun 1786 – 1820-an praktik perbudakan dan perdagangan budak di Selat Malaka berjalan secara legal. Bahkan, dalam kurun waktu tersebut, budak menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan.
“Banyak elite dan masyarakat biasa yang berasal dari berbagai golongan dan etnis di kawasan ini, terlibat praktik-praktik perbudakan dan bisnis jual-beli budak,†tandas suami Roslina, ayah tiga putra ini.
Setelah melangsungkan ujiannya, peraih gelar magister humaniora bidang sejarah tahun 2001 dari UGM ini, dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan sekaligus meraih gelar doktor bidang ilmu sastra dari UGM. Hasil penelitiannnya tentu bermanfaat bagi masyarakat luas. Bahwa di tengah maraknya praktik perdagangan manusia (human trafficking), desertasi Anatona memberikan pengetahuan yang cukup memadai dan signifikan untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman berkenaan dengan praktik-praktik perdagangan manusia. (Humas UGM).