Aspirasi masyarakat terutama dari kalangan perguruan tinggi dibutuhkan untuk penyempurnaan RUU Kementrian Negara yang kini tengah dibahas oleh DPR RI. Lima perguruan tinggi di Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Andalas, Universitas Indonesia, Universitas Lambung Mangkurat, dan Universitas Hasanudin dipilih untuk turut memberikan masukan bagi penyermpurnaan RUU Kementrian Negara.
“Kami ingin mendapat masukan dari universitas, termasuk UGM karena pembahasan RUU Kementrian Negara berkembang terus,†kata GBPH Joyokusumo, Ketua Rombongan Pansus DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, di ruang Multimedia, Kompleks Gedung Pusat UGM, Kamis (15/2).
Selain itu, turut serta dalam rombongan Pansus DPR RI, antara lain Suryo Sumpeno (Partai Demokrat), Dr Yosona Lauri SH (PDIP), Taufan Tampubolon (PDIP), Chairunisa (Partai Demokrat), Refrizal (PKS), dan beberapa dari Sekretariat Negara, dan 3 orang Sekretariat Pansus. Dari UGM tampak hadir, Asisten Wakil Rektor Bidang Kerjasama Dr Bambang Purwono, Asisten Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Edy OS Hiariej SH MHum, Kepala Bidang hokum dan Tatalaksana Enny Nurbaningsih SH MHum, Dr Pratikno, Prof Dr Warsito Utomo, dan beberapa Rektor dan Pembantu Rektor Perguruan Tinggi di Yogyakarta.
Proses pembahasan RUU Kementrian Negara, kata Gusti Joyo, merupakan inisiatif DPR RI. Hal tersebut sesuai dengan pasal 17 ayat 4 UUD 1945, yang berisi tentang aturan pembentukan maupun pembubaran kabinet.
“Hak prerogatif presiden menjadi bahan pertimbangan karena dalam UUD 1945 kekuasaan presiden tidak terbatas. Isyarat yang ada di UUD 1945 jelas, kekuasaan presiden tidak tak terbatas,sehingga pemahaman hak prerogatif juga ada batas-batasnya,†kata Joyokusumo.
Dalam Workshop “Penyerapan Aspirasi Perguruan Tinggi Untuk RUU Tentang Kementrian Negara†ini, Gusti Joyo menjelaskan, bahwa sistem presidensiil yang dianut oleh pemerintah sekarang ini memang perlu mendapatkan penataan agar penyelenggaraan negara dan pemerintahan bisa berjalan baik, efektif, terukur. Beberapa materi RUU Kementrian Negara di antaranya mengatur struktur pengelompokan menteri yang memungkinkan adanya inisiatif presiden untuk pembentukan kelembagaan tapi harus dibatasi.
“Konsekuensi logis pada anggaran belanja dan pendapatan negara, hak budget itu ada di DPR sehingga aturan perlu disepakati bersama antara Presiden dan DPR, tentunya pertimbangan syarat kementrian yang harus ada,†katanya.
Menurutnya, RUU Kementrian Negara memberikan kemungkinan bagi Presiden untuk membuat lembaga kementrian sesuai dengan prioritas programnya. Namun, hal itu perlu dibatasi dan tidak boleh terlalu banyak.
“Itu fleksibilitas pembentukan kelembagaan, tetapi untuk menunjuk siapa menterinya menjadi hak prerogatif presiden, DPR tidak ingin ikut campur tangan, meski jika mengacu di AS jabatan seorang menteri harus mendapat klarifikasi dari lembaga perwakilan, tapi untuk RUU itu belum sampai ke sana, †kata Joyokusumo.
Sebelum itu, Prof Dr Sofian Effendi, Rektor UGM menyatakan untuk struktur kementerian di beberapa negara besar, seperti China dan Jepang tidaklah terlalu banyak. Bahkan Cina, kata dia, dengan jumlah penduduk mencapai 1,2 milyar dan wilayah yang sedemikian luas hanya memiliki 12 kementerian.
“Jepang yang jumlah penduduk tidak begitu besar namun secara ekonomi kuat, hanya memiliki 13 menteri, yang kemudian disederhanakan menjadi 12 dan terakhir ada keinginan menjadi 11 kementerian,†kata Pak Sofian.
Lebih lanjut, Pak Sofian berharap, Indonesia mestinya dapat belajar dari negara-negara besar tersebut. Bahwa sebuah pemerintahan negara yang diperlukan adalah pemerintahan negara yang jumlah kemetriannya tidak terlalu besar.
“Kalau kita melihat penjelasan UUD 1945, kementrian yang dibentuk di awal pemerintahan hanyalah 12 kementrian. Sekarang mencapai 35 kementrian. Bahkan di jaman Orla sewaktu dipimpin Presiden Soekarno kita pernah memiliki 100 mentri,†ujar Pak Sofian.
Menanggapi penyelenggaraan workshop ini, Pak Sofian mengungkapkan rasa terima kasihnya, karena UGM dijadikan tempat untuk menjaring aspirasi. “Sebagai komponen dari masyarakat, workshop ini menunjukkan bahwa Perguruan Tinggi bukan hanya tempat untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi, namun yang tak kalah penting ternyata Perguruan Tinggi menjadi tempat untuk mencermati masalah-masalah kebangsaan,†tandas Pak Sofian. (Humas UGM).