Sengketa bisnis umumnya diselesaikan melalui tiga cara, yakni melalui perdamaian, melalui lembaga arbitrase atau melalui jalur pengadilan. Namun demikian, arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif menunjukkan perannya dalam membantu penyelesaian sengketa bisnis baik nasional maupun internasional. Banyak pelaku bisnis memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan yang akan dihadapi karena memungkinkan digunakannya asas Ex Aequo Et Bono. Apalagi, pertimbangan yang digunakan para pelaku bisnis untuk memilih arbitrase karena adanya UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Seperti diketahui, ex aequo et bono adalah kebebasan pihak arbiter untuk memutuskan sengketa dengan tidak mendasari pada ketentuan hukum yang rigid atau kaku tetapi berdasar prinsip keadilan. “Umumnya arbitrase sering menggunakan asas ini,” kata mahasiswa program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UGM, Nadia Fitroyani, saat mempertahankan disertasinya pada ujian terbuka program doktor di Fakultas Hukum UGM, Jumat (20/10).
Dalam disertasinya yang berjudul Penggunaan Asas Ex Aequo Et Bono dalam Sengeketa Bisnis pada Arbitrase Nasional dan Arbitrase Syariah, ia menuturkan bahwa pelaksanaan putusan arbitrase yang menggunakan asas ini apabila para pihak yang bersengketa sepakat menggunakan asas ini sehingga muncul kewenangan arbiter untuk menyelesaikan perkara menggunakan keadilan dan kepatutan di luar UU. Namun begitu, kata Nadia, penggunaan asas ini harusnya diatur secara tegas dalam UU arbitrase agar tidak menimbulkan perbedaan interpretasi pada lembaga arbitrase dalam menggunakannya.
Ia menjelaskan apabila majelis arbiter diberi kewenangan untuk menggunakan asas ini maka arbiter harus menggali keadilan tidak hanya dalam UU namun berdasarkan norma objektif yang tidak tertulis, keyakinan agama, akal sehat dan hati nurani. Namun begitu, akal sehat dan hati nurani yang digunakan tentu saja tidak bersifat subjektif sehingga akan dapat menghasilkan putusan yang tidak adil dan benar. “Tentu saja penggunaan asas ini tidak boleh digunakan semena-mena, tetapi harus ada rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh para arbiter dalam menggunakannya,” ujarnya.
Begitu juga pada arbitrase syariah. Di sini arbiter bahkan tidak boleh mengabaikan hati nurani yang berlandaskan ajaran islam untuk mencari keadilan pada penyelesaian sengketa berbasis syariah.
Nadia mengusulkan agar tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda dari lembaga arbitrase dalam menggunakan asas ini maka penggunaan asas ini harus diatur secara tegas dalam UU arbitrase sebagai choice of law. (Humas UGM/Gusti Grehenson)