Presiden Direktur BPJS Ketenagakerjaan, Agus Susanto, mengajak para mahasiswa untuk menjadi agen dari sistem penggerak jaminan sosial berbasis digital bernama Perisai yang akan diluncurkan dalam waktu dekat.
"Kami sedang mengembangkan sistem yang prosesnya semua berbasis teknologi digital, dan mahasiswa bisa mendapat penghasilan tambahan dengan menjadi agen," ujarnya saat menjadi pembicara dalam Talkshow Polgov Days, Sabtu (21/10) di FISIPOL UGM.
Agus menjelaskan, para agen Perisai bertanggung jawab untuk mensosialisasikan, mengedukasi, serta memberikan pemahaman terkait BPJS Ketenagakerjaan kepada masyarakat serta memfasilitasi pendaftaran serta pembayaran iuran melalui media elektronik.
Penerapan sistem yang diadopsi dari Jepang ini, menurutnya, merupakan salah satu upaya BPJS untuk meningkatkan pemanfaatan teknologi dan sistem informasi yang terintegrasi dalam pelayanan publik seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara maju. Dari empat tingkatan pemanfaatan teknologi dari negara-negara dunia, ujar Agus, Indonesia masih digolongkan pada tingkat 1 bersama negara-negara berkembang, seperti Vietnam dan Kamboja.
"Level 1 itu untuk negara yang belum memanfaatkan teknologi digital dalam lingkup yang luas karena di Indonesia masing-masing badan mempunyai sistem administrasi tersendiri dan belum ada data sharing," jelasnya.
Pentingnya penerapan teknologi digital dalam pelayanan publik juga disampaikan oleh Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informasi, Prof. Dr. Henri Subiakto. Maraknya migrasi dari dunia fisik ke dunia digital, menurutnya, menuntut institusi dan individu untuk turut berkembang dan semakin terkoneksi dalam berbagai aspek.
Meski demikian, ia juga mengingatkan bahwa kondisi ini memunculkan berbagai kerentanan keamanan karena teknologi digital membuka ruang bagi model kejahatan baru yang dalam beberapa tahun terakhir banyak terjadi di Indonesia.
"Kejahatan teknologi termasuk sering kali terjadi di Indonesia. Ada 28 juta kasus di tahun 2015 dan 50 juta kasus di tahun 2016," kata Henri.
Karena itu, imbuhnya, perlu dibangun infrastruktur serta kultur keamanan siber bagi masyarakat Indonesia. Hal ini dimulai dengan penetapan regulasi yang jelas oleh pemerintah yang menjadi pondasi bagi terciptanya budaya digital yang sehat.
"Tanpa regulasi akan ada banyak kehancuran. Perlu dibangun regulasi yang dapat menyelamatkan perubahan-perubahan tadi agar tidak destruktif," pungkasnya. (Humas UGM/Gloria; Foto: Firsto)