
Setelah lebih dari satu dekade terombang-ambing di meja legislasi, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat akhirnya kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Keputusan ini disambut baik oleh para akademisi dan aktivis yang telah lama mengawal isu pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, termasuk Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A, dosen Fakultas Hukum UGM sekaligus peneliti hukum adat. RUU ini dianggap sebagai momentum penting untuk memperkuat posisi masyarakat adat dalam kerangka hukum nasional. Setelah menanti selama hampir 15 tahun, banyak pihak menaruh harapan besar pada pembahasan dan pengesahan yang lebih serius kali ini.
Menurut Yance, pengesahan RUU ini mendesak dilakukan. Ia berharap, momentum kali ini tidak kembali terbuang seperti periode-periode sebelumnya. Dengan masuknya RUU ini dalam Prolegnas Prioritas, publik berharap ada komitmen politik yang lebih konkret untuk menuntaskan legislasi yang telah tertunda terlalu lama.“Kita perlu apresiasi bahwa DPR masih memperhatikan RUU ini, meskipun selama ini progresnya berjalan lambat. Inisiatif RUU ini sudah muncul sejak 2010 dan baru masuk Prolegnas Prioritas sejak 2011. Jadi, sudah sekitar 14 atau 15 tahun RUU ini ada di DPR tapi belum juga disahkan,” ujarnya.
Meski sudah lama dibahas, draf RUU yang ada dinilai masih belum cukup memadai. Menurut Yance, rancangan saat ini belum mampu menyelesaikan persoalan tumpang tindih regulasi yang kerap mempersulit pengakuan terhadap masyarakat adat. Ia menyarankan pendekatan kodifikasi melalui metode omnibus sebagai alternatif, agar undang-undang sektoral yang beririsan dengan masyarakat adat dapat dihimpun dan diselaraskan. Hal ini akan menciptakan sistem hukum yang lebih koheren dan menghindari konflik antara peraturan yang saling bertabrakan. Tanpa reformulasi substansi, RUU ini berpotensi menjadi produk hukum yang lemah secara implementasi.
“Peneguhan prinsip-prinsip penting, termasuk kemudahan untuk meregistrasi keberadaan masyarakat adat, legalitas tanah, serta prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) perlu ditegaskan dalam RUU ini,” jelasnya. Prinsip-prinsip tersebut, tambahnya, selaras dengan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) yang telah disahkan sejak 2007 dan ditandatangani oleh Indonesia. Sayangnya, banyak ketentuan dalam UNDRIP belum terimplementasi secara konkret dalam regulasi nasional. RUU ini menjadi peluang strategis untuk menerjemahkan komitmen internasional ke dalam kebijakan hukum dalam negeri.
RUU Masyarakat Adat juga dinilai penting untuk meredam konflik antara hukum adat dan hukum negara. Saat ini, berbagai undang-undang sektoral seperti kehutanan, perkebunan, pertambangan, hingga pendidikan, telah mengatur masyarakat adat namun justru menimbulkan tumpang tindih dan ketidakpastian hukum. Harmonisasi hukum adat dan hukum negara harus diletakkan dalam bingkai saling melengkapi, bukan saling menegasikan. Dengan demikian, masyarakat adat tidak lagi berada di posisi marjinal dalam sistem hukum nasional. “RUU ini diharapkan bisa menyelesaikan problem itu. Justru RUU ini bisa menjadi solusi karena selama ini banyak konflik norma yang tidak terselesaikan akibat belum adanya pengakuan terhadap masyarakat adat dan hukum adat yang mereka praktikkan,” kata Yance.
Isu investasi kerap kali dijadikan alasan penundaan pengesahan RUU ini. Padahal menurut Yance, asumsi bahwa masyarakat adat menghambat investasi sangat keliru. Ia menjelaskan bahwa resistensi masyarakat adat muncul karena selama ini investasi masuk tanpa mengakui hak mereka atas tanah, sehingga menimbulkan ketidakadilan dan konflik. Jika pengakuan legal terhadap tanah adat dilakukan sejak awal, proses pembangunan akan berjalan lebih inklusif dan minim gesekan. Prinsip keadilan harus menjadi fondasi dalam setiap kebijakan pembangunan yang melibatkan ruang hidup masyarakat adat. “Masyarakat adat itu tidak anti-investasi, tidak anti-pembangunan, sepanjang tidak merugikan mereka,” tegasnya.
Sebagai akademisi dan aktivis hukum, Yance berharap agar DPR dan pemerintah tidak lagi menggunakan draf lama yang sudah tidak relevan. Ia mendorong penyusunan draf baru yang lebih sesuai dengan konteks hari ini, termasuk perkembangan global dan kebutuhan lokal masyarakat adat. Proses ini bukan hanya soal substansi, tetapi juga soal keberpihakan politik dan kesungguhan negara dalam menunaikan mandat konstitusi untuk melindungi masyarakat adat. “Kalau pakai draft lama, persoalan ini tidak terselesaikan, jadi perlu menyusun draft RUU baru sesuai dengan perkembangan di tingkat nasional dan daerah,” ungkapnya.
Ia juga menekankan pentingnya memastikan proses legislasi yang partisipatif, terutama dalam menjangkau komunitas adat yang seringkali tidak memiliki akses informasi yang memadai. Menurutnya, partisipasi yang bermakna bukan sekadar formalitas, melainkan keterlibatan aktif sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan multibahasa dan melibatkan fasilitator lokal agar suara masyarakat adat benar-benar terwakili dalam proses legislasi. “Ini tantangan juga bagi pemerintah untuk menjadikan pembuatan undang-undang masyarakat adat sebagai contoh baik untuk pembuatan undang-undang yang partisipatif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di berbagai tempat,” pungkasnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto. : Donnie