Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM, Rabu (13/2) menggelar seminar nasional bertajuk “Satu Dekade Pasca-Krisis Indonesiaâ€. Bersamaan dengan itu, diluncurkan buku baru “Satu Dekade Pasca-Krisis Indonesia Badai Pasti Berlalu? karya Dr. Sri Adiningsih dkk.
Acara berlangsung di Balai Pertemuan UGM dengan mendapat dukungan dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan Penerbit Kanisius. Selain Kepala BPK RI Prof. Dr. Anwar Nasution, turut berbicara Ketua ISEI Yogyakarta Prof. Dr. Eddy Suandi Hamid, Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi UGM Prof. Dr. Mudrajad Kuncoro serta Ketua PSAP UGM Dr. Sri Adiningsih.
Menurut Adiningsih meski telah lebih dari satu dekade berlalu, krisis ekonomi masih tetap menjadi beban di tengah kehidupan masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini semakin berat.
“Tahu tempe saja yang merupakan makanan rakyat, kini mulai menjadi makanan mewah bagi masyarakat Indonesia. Ancaman instabilitas ekonomi makro masih tinggi. Selain itu, pertumbuhan ekonomi kualitasnya makin turun, kemampuannya untuk tumbuh meningkat juga semakin berat,†ujarnya.
Ancaman resesi dunia, kata Adiningsih, bisa menyeret ekonomi Indonesia jika otoritas ekonomi Indonesia tidak dapat mengambil kebijakan yang tepat dan cepat. “Oleh karena itu, pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi terancam meningkat lagi, jika Indonesia gagal mengatasi ancaman memburuknya ekonomi akhir-akhir ini,†terangnya.
Ditambahkannya, satu dekade reformasi ekonomi yang diluncurkan Indonesia, masih jauh dari usai. Bahkan, ia kini berada di persimpangan jalan. Dengan demikian munculnya berbagai masalah ekonomi akhir-akhir ini jika tidak hati-hati, justru akan membawa reformasi ekonomi berjalan ditempat.
“Jebakan kebijakan yang responsif, mencari jalan pintas, populis, dan parsial dapat membuat reformasi ekonomi mengalami kemandegan. Hanya ditingkat kebijakan dan elit saja nampak bagus, namun sesungguhnya masih jauh dari harapan ketika diimplementasi,†tambah Adiningsih.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika banyak paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan, hasilnya minimal. Bahkan kualitas pertumbuhan ekonomipun merosot. Demikian pula ketergantungan perekonomian pada luar negeri yang kian besar.
“Jika tidak hati-hati ekonomi Indonesia yang kecil dan terbuka, akan semakin liberal, dan semakin tergantung pada negara lain. Lebih dari itu, ekonomi Indonesia makin mudah menjadi bulan-bulanan volatilitas pasar global,†jelas Adiningsih.
Oleh karena itu, reformasi ekonomi perlu diluruskan. Yaitu mengembalikan tujuan reformasi seperti tujuan awa-awal perjuangan dengan mengembalikan kedaulatan dan kemandirian ekonomi Indonesia.
Sebelum itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Prof. Dr. Anwar Nasution menyatakan menguatnya kurs riil efektif rupiah telah menyebabkan perekonomian mengalami the Dutch Disease, yang menimbulkan malapetaka bagi sektor perekonomian diluar komoditi yang mengalami kenaikan harga-harga. The Dutch Disease sekaligus menimbulkan ketimpangan ekonomi secara sektoral dan regional.
Kebijakan moneter berupa kebijakan penetapan kurs devisa yang kurang pas diimbangi dengan kebijakan fiskal, kata Anwar, tidak dapat berfungsi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional (fiscal stimulus). Sementara, investasi sektor swasta tertekan akibat dari buruknya iklim investasi, apakah karena kurangnya infrastruktur perekonomian, sistim perburuhan yang tidak rasional, ataukah kurang adanya kepastian hukum dan semakin rumitnya sistim perijinan setelah otonomi daerah.
“Untuk itu, guna menggerakkan kembali pertumbuhan ekonomi Indonesia maka perlu kiranya merubah kebijakan pengendalian kurs devisa guna meniadakan the Dutch Disease dengan menempuh rangkaian kebijakan yang mendorong ekspansi fiskal, investasi modal swasta dan ekspor,†ujar Anwar Nasution. (Humas UGM).