Fenomena “selingkuh†sekarang menjadi trend di masyarakat akibat berbagai tayangan infotainment, sinetron di televisi. Padahal perilaku selingkuh termasuk dalam salah satu jenis kriminalitas, yaitu masuk dalam kelompok Treason atau penghianatan. “Ada dua jenis treason yang dijelaskan dalam Sosiologi Kriminalitas. Pertama High Treason atau penghianatan besar atau penghianatan berat, seperti membocorkan rahasia Negara, membuat senang musuh Negara, membunuh raja atau pemimpin Negara dan sebagainya. Kedua, Petit Treason, yaitu penghianatan kecil atau penghianatan ringan seperti membunuh pacar, isteri atau suami, selingkuh dan poligami (banyak isteri), serta poliandri (banyak suami),†papar Drs. Soeprapto, SU dalam Diskusi Rutin yang di selenggrakan oleh Pusat Studi Wanita (16/2).
Istilah selingkuh sendiri sebenarnya belum lama digunakan dalam bahasa Indonesia, kira-kira baru digunakan dalam 15 tahun terakhir. “Sebelumnya, perilaku dan fenomena selingkuh dinyatakan dengan kata atau istilah menyeleweng dan berkhianat. Proses terjadinya berkaitan dengan perilaku berbohong, tidak jujur, tidak setia, diam-diam, sembunyi-sembunyi dan sebagainya,†ujar Dosen Jurusan Sosiologi Fisipol UGM
Menurut Peneliti Masalah Kriminal dan Hukum ini, selingkuh dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat dikelompokkan menjadi dua. Meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan sejumlah faktor penyebab perselingkuhan yang muncul dan bersumber pada diri pelaku maupun korban perselingkuhan itu sendiri seperti keadaan fisik, psikis dan biologis.
Faktor eksternal merupakan penyebab perselingkuhan yang muncul dan bersumber dari luar diri korban seperti lingkungan fisik, geografis maupun sosial. Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengenai perilaku perselingkuhan.
Perilaku selingkuh berkaitan dengan tipe fisik (Phisical Type). Seseorang berselingkuh berdasarkan dari ciri-ciri fisik, yakni rambut keriting, mata sipit, garis tangan dan sebagainya. Selingkuh juga terjadi karena dorongan biologis (Biologycal). Dorongan atau hasrat pacaran dan berâ€cinta†yang menggebu-gebu dan tak terkalahkan, sehingga seseorang harus meminjam atau merebut milik orang lain, atau yang bukan menjadi haknya. Selain itu perilaku selingkuh merupakan bagian dari kebudayaan (Sub Culture). Sepanjang manusia memiliki kebudayaan maka perilaku selingkuh akan muncul pula di dalamnya.
Selingkuh dapat terjadi melalui proses belajar (Learning Teory). Maksudnya, seseorang yang sebetulnya tidak potensial selingkuh bisa saja menjadi selingkuh melalui proses belajar atau coba-coba. Misalnya coba-coba membohongi pacar, isteri atau suami. Kemudian, selingkuh dapat juga terjadi karena label atau stempel yang diberikan pihak lain kepada seseorang atau sekelompok orang (Labeling). Misalnya selingkuh karena selalu dituduh tidak setia, bohong, berkhianat dan sebagainya.
Selingkuh dapat terjadi karena seseorang atau sekelompok orang merasa tidak dikenali dan atau karena merasa bahwa kontrol sosial dalam masyarakat tidak ada atau lemah (Anomy and Social Control). Misalnya selingkuh yang terjadi karena pasangannya kelewat sibuk atau memberi kepercayaan dan kebebasan berlebihan. Terakhir, perilaku selingkuh dapat terjadi karena unsur eksibisi (Exhibition), akibat tontonan di televisi, nonton film dan sebagainya.
Untuk menanggulangi kenakalan perilaku selingkuh tersebut, perlulah dilakukan kerjasama antar lima lembaga sosial dasar seperti lembaga keluarga, agama, pendidikan, ekonomi dan lembaga pemerintah dalam bentuk sosialisasi budaya, nilai, norma sosial dan norma agama. “Upaya yang dapat dilakukan diantaranya melakukan pendewasaan masyarakat secara fisik dan kejiwaan, sosialisasi jenis kekerasan, advokasi penanggulangan kekerasan atau kejahatan, melakukan kontrol sosial secara terpadu,†tutur Drs. Soeprapto, SU selaku Koordinator Kelompok Studi Kriminal. (Humas UGM)