Himpunan Studi Ternak Produktif (HSTP), Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada sukses menyelenggarakan Seminar Nasional HSTP 2017. Mengambil tema “Peran Dokter Hewan terhadap Tantangan UPSUS SIWAB dalam Mewujudkan Swasembada Daging Nasional,” seminar tersebut menghadirkan beberapa narasumber. Beberapa pembicara yang dihadirkan, yakni drh. Syamsul Ma’arif, Msi. (Perwakilan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan), Drh. Agung Budiyanto, M.P., Ph.D. (Asosiasi Medik Reproduksi Veteriner Indonesia), drh. Prabowo Respatiyo Caturroso, M.M., Ph.D. (Koordinator Tim Ahli UPSUS SIWAB Kementerian Pertanian), dan Dr. drh. H. Heru Setijanto, PAVet (K) (Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia). Seminar nasional tersebut diselenggarakan pada Sabtu (11/11) di Auditorium FKH UGM.
Syamsul menjelaskan upaya khusus peningkatan populasi yang dilakukan melalui Optimalisasi Inseminasi Buatan (IB) bertujuan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi ternak sapi. Syamsul menambahkan sasaran program tersebut yakni agar dapat mencapai tingkat kebuntingan dari IB minimal 70 %, tingkat gangguan reproduksi turun 60%, dan pemotongan sapi betina produktif turun 20%.
Ia menuturkan pengendalian betina produktif ditujukan untuk mempertahankan struktur betina dewasa dan angka betina produktif sebagai akseptor IB. Ia menambahkan target pengendalian produktif ada di 17 provinsi dan 40 kabupaten/kota difokuskan pada sentra populasi dan sentra pemotongan.
“Penanggulangan betina produktif juga dilakukan bekerjasama dengan Baharkam POLRI,” jelas Syamsul.
Syamsul juga menyoroti rancang bangun pelayanan jasa medik veteriner. Menurutnya, pada kondisi saat ini kasus gangguan reproduksi di wilayah IB tinggi. Hal tersebut terjadi karena tenaga reproduksi tidak berada di bawah penyeliaan dokter hewan. “Hal tersebut menyebakan kasus gangguan reproduksi tinggi dan efisiensi reproduksi rendah,” terangnya.
Sementara itu, menurut Agung ada beberapa fungsi dokter hewan yang slippery dalam pelaksanaan UPSUS SIWAB (Upaya Khusus Percepatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting). Salah satu fungsi itu yakni pemeriksaan SKSR atau ISRA sebagai langkah pertama yang harus dilakukan sebelum dilakukan IB atau kawin alam yang banyak tidak dilakukan. Selain itu, menurut Agung, pemahaman terhadap petunjuk teknis belum merata di level petugas lapangan terkait langkah medik reproduksi. Ia juga mengatakan bahwa saat ini acap kali ditemukan pelaksanaan diagnosis awal jurang justifikasi medik reproduksi. Agung menilai masih banyak dijumpai sapi yang seharusnya masuk gangguan reproduksi terlebih dahulu tetapi masuk program normal.
“UPSUS SIWAB menggugah kesadaran peran dokter hewan untuk ikut memperbaiki manajemen reproduksi yang harus didukung dengan kemampuan dan pengetahuan yang cukup serta kerja keras bersama sehingga target kebuntingan sapi dapat tercapai,” tutur Agung. (Humas UGM/Catur)