Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Eddy O. S. Hiariej, S.H., M.Hum., menyebutkan kemiskinan menjadi faktor pemicu timbulnya terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok marjinal.
“Persoalan terorisme bukan hanya semata-mata soal pemahaman agama yang salah, tetapi lebih pada kemiskinan dan kelompok marjinal,” jelasnya, Rabu (15/11) di University Club UGM.
Dalam Seminar Nasional yang mengangkat tema Kejahatan Terorganisir yang Bersifat Transnasional (Transnational Organised Crimes): Perspektif Hukum yang Multidimensi tersebut, pakar hukum pidana UGM ini menekankan pentingnya upaya mengentaskan kemiskinan untuk menanggulangi aksi terorisme. Hal tersebut perlu dilakukan selain upaya deradikalisasi teroris.
“Pengentasan kemiskinan ini penting disamping deradikaliasai karena dengan begitu bisa menanggulangi tindakan terorisme secara komprehensif,” jelasnya.
Dalam penanggulangan terorisme, kata dia, tidak hanya membutuhkan kerja sama di level internasional. Namun demikian, pemberantasan terorisme juga harus memperhatikan kearifan lokal yang dapat membentengi diri dari nilai-nilai yang tidak sesuai.
“Harus punya nilai-nilai kearifan lokal yang terus dijaga kelestariannya,” tuturnya.
Pada kesempatan itu, Eddy juga menyoroti permasalahan illegal fishing. Menurutnya, illegal fishing menjadi persoalan yang sangat krusial bagi Indonesia. Pasalnya, Indonesia merupakan negara terbesar ke-2 setelah Kanada dengan garis pantai terpanjang di dunia.
“Karenanya penting untuk menjaga kedaulatan laut,” tegasnya.
Tak hanya menyinggung tentang terorisme dan illegal fishing, dalam seminar itu Eddy juga membahas tentang perdagangan manusia yang termasuk dalam kejahatan transnasional terorganisir. Kejahatan transnasional terorganisir ini bersifat masif, dilakukan secara terorganisasi, dengan modus rumit, dan menimbulkan dampak yang sangat luar biasa bagi masyarakat.
“Karena delik-deliknya khusus maka untuk penanggulangannya membutuhkan upaya ekstaordinary,” tuturnya.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof.Dr. Sigit Riyanto S.H., LLM., menyampaikan kejahatan transnasional terorganisir menjadi topik yang sangat menarik dan relevan bagi Indonesia. Terlebih dengan melihat kondisi dan situasi di Indonesia yang berada di persilangan dua samudera dan benua.
“Posisi geografis Indonesia berada di persimpangan dunia menjadikan akses dan peluang kejahatan transnasional terorganisir sangat terbuka,” terangnya.
Menurut Sigit kejahatan transnasional terorganisir harus menjadi perhatian khusus bagi dunia termasuk Indonesia karena bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti laut, darat, udara, bahkan secara virtual secara internasional. Kejahatan ini menjadikan adanya proses deteritorialisasi tidak tunduk pada wilayah negara tertentu. Sementara dalam operasinya dilakukan oleh aktor berjaringan, organisasi dan lintas batas.
“Untuk melawan kejahatan berjaringan juga harus dengan membentuk jaringan, tidak hanya dalam penangannnya tetapi juga di sisi kebijakan dan lainnya,” urainya. (Humas UGM/Ika)