Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ir.Wiratno, M.Sc., menyebutkan perhutanan sosial terbukti mampu menggerakkan perekonomian masyarakat yang tinggal di kawasan hutan.
“Contoh nyatanya adalah Hutan Kemasyarakatan Kulon Progo atau yang lebih dikenal di media sosial sebagai Desa Wisata Kalibiru,” ucapnya, Kamis (16/11) di Fakultas Kehutanan UGM.
Dalam kesempatan itu, Wiratno hadir untuk menyampaikan orasi ilmiah berjudul Perebutan Ruang Kelola: Refleksi Perjuangan dan Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia dalam puncak peringatan dies natalis Fakultas Kehutanan UGM ke-54.
Wiratno mengatakan bisnis swafoto di Kalibiru telah membuktikan bahwa perhutanan sosial dapat meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat di sekitar hutan. Dari bisnis ini masyarakat mendapatkan keuntungan kotor hingga Rp5 miliyar per tahun.
Contoh keberhasilan perhutanan sosial lainnya seperti yang dilakukan oleh masyarakat Desa Namo Sialang dan Sei Serdang, Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Mereka berhasil mengembangkan ekowisata yang berhasil menggerakan roda perekonomian warga sebesar Rp12 miliar setiap tahun.
Menurutnya, perhutanan sosial mampu meningkatkan ragam ekonomi kelompok sampai ke tingkat desa. Selain itu, juga membangun lapisan kesadaran baru yang membumi di desa-desa pinggir hutan.
“Fenomena ini sebagai membangun socioculture and economic buffer. Masyarakat yang mampu menggerakan ekonomi di desanya tanpa harus urbanisasi, justru orang kota yang harus datang ke desa,”tutur alumnus Fakultas Kehutanan UGM ini.
Wiratno mengatakan perhutanan sosial sangat site specific atau local specific dan pada umumnya berskala kecil. Replikasi keberhasilan program ini di suatu tempat tidak sekaligus menunjukkan potensi dan arah keberhasilan yang sama di tempat lain.
Oleh sebab itu, diperlukan pengawasan dan evaluasi secara berkelanjutan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial ini. Dengan begitu, proses pembelajaran dapat secara terus dilakukan secara bersama-sama.
“Melalui sekolah lapangan yang digagas Guru Besar Fakultas kehutanan UGM, Prof. San Afri Awang, replikasi berpotensi akan berhasil lebih cepat. Dengan model farmer to farmer share learning dapat dilakukan lebih efektif dan relatif cepat dibandingkan model penyuluhan konvensional,”paparnya. (Humas UGM/Ika: foto: Firsto)