Munculnya berbagai penyimpangan Program Beras Miskin, tidak lepas dari adanya perbedaan persepsi terhadap raskin dan miskin. Hal inilah yang selalu menjadi perdebatan sengit pembuat kebijakan, pelaksana program, maupun kelompok sasaran.
Kendati begitu, bila dicermati program Raskin merupakan program paling efektif dibanding program-program lain dalam penanggulangan kemiskinan. Sementara dalam Program Raskin, sumber masalah utama terletak pada sosialisasi, pendataan dan distribusi serta tidak adanya institusi lokal khusus yang menangani Raskin.
Begitulah yang mengemuka saat diskusi bulanan bertajuk “Pendampingan Guna Meningkatkan Efektivitas Program Raskin†yang diselenggarakan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Kamis, (1/3). Diskusi ini menghadirkan pembicara Pande Made Kutanegara dan Tim, yang merepresentasikan penelitiannya di dua belas desa di DIY dan Jawa Tengah.
“Penyimpangan banyak terjadi pada ketidaktepatan sasaran, jumlah dan harga. Ketidak tepatan sasaran dan jumlah ditunjukkan dengan adanya fenomen bagito/bagidil/bagi rajin, sedang ketidak tepatan harga terlihat adanya tambahan biaya transportasi yang dibebankan pada Gakin,†ungkap Made pande Kutanegara.
Kata Made Kutanegara, salah satu kelemahan pelaksanaan program Raskin selama ini adalah kurang dilibatkannya perempuan sebagai pengelola Raskin. Keterlibatan mereka masih sebatas kelompok penerima (obyek) dan tidak terlibat sebagai pengelola program. Hal inilah sebagai penyebab terjadinya banyak penyimpangan program, terutama munculnya kebiasaan bagito dilapangan.
“Hasil penelitian menemukan, seharusnya perempuanlah yang mengelola program Raskin. Karena kaum perempuan jauh lebih tegas dan tegel dalam menjalankan program sesuai aturan disbanding laki-laki,†tambah Made.
Made berpendapat, sudah saatnya program Raskin melibatkan berbagai pihak yang dipandang potensial untuk mendukung jalannya program. Oleh karena itu, kata dia, perlu dikembangkan konsep governance dalam pengelolaan program Raskin.
“Hal itu berarti perlu adanya peran yang sistimatis antara state (Bulog dan Pemda), civil society, dan private Perguruan Tinggi, LSM, organisasi-organisasi berpengaruh lainnya,†tandas Made.
Salah satu kasus menarik dari penelitian Made Kutanegara dan Tim adalah pengelolaan Raskin di Pemda Kudus. Di kabupaten ini, pengelolaan Raskin sudah dikembangkan dengan konsep governance, yaitu melibatkan pihak swasta dalam menjalankan program.
“Hal itu, dilakukan terutama dalam hal pengangkutan beras dari gudang ke titik distribusi. Keterlibatan pihak swasta mampu mengurangi biaya ongkos angkut, sehingga tidak diperlukan ongkos tambahan bagi penerima program Raskin,†tukas Made diakhir makalah hasil penelitiannya bersama tim. (Humas UGM).