Memperingati Dies Natalis ke-68 Universitas Gadjah Mada, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel menyelenggarakan Seminar Harmoni Inklusi “Difaphoria.” Bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional, seminar tersebut menghadirkan beberapa narasumber berkompeten di bidangn difabel. Beberapa narsumber yang dihadirkan, yakni Muhammad Joni Yulianto (Direktur Eksekutif Sarana Integarasi dan Advokasi Difabel), Susilo Andi Darma, S.H., L.L.M. (Dosen Fakultas Hukum UGM), dan Tio Tegar Wicaksono (Mahasiswa Fakultas Hukum UGM). Acara yang terbuka untuk umum tersebut dilaksanakan pada Sabtu (25/11) di Graha Sabha Pramana UGM.
Ada dua talkshow dalam Seminar Harmoni Inklusi “Difaphoria. Masing-masing talkshow membahas tema yang berbeda. Pada panel pertama tema yang diangkat yakni Aksesibilitas Menuju Kampus Inklusi. Sedangkan panel kedua mengangkat tema Social Entrepreneurship. Selain acara inti tersebut, pada seminar ini juga ditampilkan penampilan Puser Bumi yang hampir seluruhnya beranggotakan penyandang difabel, Deaf Art Community, dan penampilan karya seni rupa difabel dari SLB se-Yogyakarta.
Tio berkesempatan membuka diskusi di panel pertama. Tio yang menyandang difabel menceritakan pengalamannya selama menjalani studi di UGM. Menurutnya, komitmen UGM dalam mewujudkan kampus inklusif sudah baik meski masih ada beberapa kekurangan. Upaya UGM dengan mengakomodasi para penyandang difabel dalam ujian masuk universitas dirasa sudah baik. Para peserta ujian diminta mengisi form khusus untuk selanjutnya didampingi saat mengerjakan ujian. Selain itu, ia juga memberi contoh saat harus mengerjakan ujian semester. Saat itu, fakultas memfasilitasi dan memperkenankan Tio untuk mendapat serta mengerjakan soal dalam bentuk softfile. Menurut Tio, apabila menggunakan paper base test pengerjaan soal akan lebih sulit dikerjakan bagi penyandang difabel tertentu.
Namun, Tio berpendapat masih ada beberapa hal; yang harus dibenahi UGM, khususnya terkait infrastruktur. Ia mencontohkan infrastruktur ram yang kerap dijumpai hanya sampai lantai satu saja, sementara itu untuk menaiki lantai-lantai berikutnya tidak disediakan ram dan lift. Selain itu Tio juga memberi contoh lainnya terkait marka jalan khusus bagi penyandang difabel. Menurutnya, kerap dijumpai marka jalan khusus yang tidak tepat seperti terhadang oleh pohon yang tentu menyulitkan penyandang difabel.
“Ini memang membutuhkan waktu dan biaya yang banyak,”kata Tio.
Sementara itu, Andi berharap mahasiswa lainnya memiliki kepedulian terhadap difabel, khususnya dalam melakukan kajian-kajian tentang difabel. Ia mendorong mahasiswa dan UKM Peduli Difabel untuk melakukan kajian difabel tiap tahun. Harapannya, kajian tersebut dapat dipublikasikan dan dapat mengguggah kepedulian para pemangku kebijakan. (Humas UGM/Catur)