Maraknya tuntutan masyarakat terhadap dokter dan dokter gigi yang diduga telah melakukan malpraktik dalam berbagai kasus, memang telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat maupun dikalangan dokter sendiri. Maka diatur kewajiban dokter dan dokter gigi untuk memiliki surat Tanda Registrasi dari Konsil Kedokteran Indonesia, Surat Ijin Praktik dari Pejabat kesehatan yang berwenang di Kabupaten/Kota, melaksanakan informed consent, membuat rekam medis, kewajiban menyimpan rahasia kedokteran dan melakukan kendali mutu dan biaya. Kesemuanya merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan.
“Lahirnya UU tentang Praktik Kedokteran dimaksudkan memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahanakan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi. Namun demikian telah menimbulkan pro kontra dalam masyarakat dan kalangan profesi kedokteran, khususnya berkaitan dengan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran yang dirasakan sebagai kriminalisasi terhadap para dokter yang rata-rata masih awam hukum,†demikian pernyataan drg. Nadial Rusdial, MPH dalam membacakan sambutan Menteri Kesehatan RI Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), Sabtu (3/3) dalam Acara Seminar Nasional Implementasi dan Konsekuensi Undang-Undang Praktik Kedokteran di Ruang Pertemuan, Gedung Diklat RSP Dr. Sardjito.
Menurut Rusdial, kewenangan yang selama ini ada pada Pemerintah khususnya berkaitan pelaksanaan registrasi dan perizinan, kini beralih dengan memberikan yang lebih aktif kepada oraganisasi profesi, Pemerintah Daerah dan lembaga-lembaga baru yang dibentuk oleh UU ini.
“Dengan keberadaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang independent dan adanya ahli hukum kesehatan yang duduk dalam majelis akan membawa dampak positif tidak saja kepada dokter dan dokter gigi agar lebih disiplin dalam penerapan ilmu pengetahuan, standar operasional prosedur yang berlaku, standar kompetensi serta standar profesinya, juga kepada masyarakat agar lebih memahami bagaimana kompleksnya masalah kesehatan tersebut,†ujar staf ahli Menkes ini.
Sedangkan dr. Fahmi Idris, selaku Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengungkapkan akan berencana melakukan amandemen terhadap UU No. 29 tahun 2004.
“Kita mencoba melakukan amandemen dengan menghapus beberapa pasal dalam UU Praktik kedokteran, karena kita merasa ada kejanggalan dan tumpang tindih. Misalnya tentang praktik dokter yang melanggar, akan dicabut registrasinya oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Namun dalam Undang-Uandang itu juga dimungkinkan bila dokter yang dikenai sangsi ini bisa melakukan banding terhadap keputusan Konsil lewat PTUN, ini yang kita rasakan masih kurang sesuai dan harus diperjelas,†ujar fahmi.
Tambah fahmi, dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran nantinya, yang diinginkan agar dokter yang bekerja dan membuka praktek betul-betul memiliki kompetensi, teregistrasi dan memiliki etika yang diukur dalam lima tahun sekali oleh lembaga yang ditunjuk dan berkompeten.
Terkait pernyataan Menkes untuk memberikan intensif bagi dokter PTT, Fahmi justru mengingatkan pemerintah agar dalam penugasan dokter ke daerah terpencil harus mendapat perlidungan, yakni condition and security di daerah tempat dokter bekerja betul-betul sudah baik. Ia mencontohkan kasus yang advokasi IDI yang dilaporkan ke wapres Jusuf kalla, Jumat (2/3) tentang penganiayaan terhadap dokter Budiman yang bekerja di lembaga pemasyarakatan yang dianiaya oleh pegawai LP karena berhasil menemukan indikasi penyebaran narkoba lewat pemeriksaan urin para napi di Lapas. (Humas UGM)