Dosen Fakultas Pascasarjana UGM Jurusan Humaniora Prof. Dr. Imran Teuku Abdullah, Kamis (14/2) dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM. Di Balai Senat UGM, pria kelahiran Lampuuk, lhoknga, Kabupaten Aceh Besar 29 Maret 1939 ini mengucap pidato “Hikayat Prang Sabi Satu Bentuk Karya Sastra Perlawananâ€.
Dihadapan para Guru Besar dan tamu undangan, Prof. Imran mengungkapkan kumulatif masalah yang dikembangkan oleh para ulama di dalam Hikayat Prang Sabi (HPS) sesungguhnya bertolak dari tuntunan ajaran agama Islam, ditambah dengan pemahaman mendalam terhadap tradisi adat-budaya dan kehidupan sosial masyarakat Aceh pada masa itu. Oleh karenanya, titik awal yang dibahas dalam HPS adalah penanaman keyakinan agama dan fanatisme pada agama.
“Sifat fanatik, kemudian dipertentangkan dengan sikap orang kafir sebagai musuh agama dan masyarakat Islam. Dengan demikian, pernyataan perang sabil untuk melawan agresi Belanda memiliki landasan yang kuat serta mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat,†ujarnya.
Menurut dosen tamu di Tokyo University of Foreign Studies (1996-1999) ini, ulama menjadi tokoh kunci dalam menggerakkan perang sabil. Untuk itu, sewajarnya jika Snouck Hurgronje memandang para ulama sebagai musuh utama. Demikian pula dengan HPS karya para ulama yang dinilai terus memompa semangat perlawanan rakyat.
Sikap fanatik pada agama, ikatan spiritual guru-santri, dan kehancuran kehidupan karena perang berkepanjangan, menyebabkan orang nekad memilih jalan syahid bagi penyelesaian penderitaan di dunia dan memilih imbalan surga di alam sana. “Belanda menyadari perlawanan ‘poh kaphe’ dari pihak Aceh tak akan pernah surut, selagi media terus membakar semangat, HPS masih dilantunkan oleh juru hikayat,†tambah Prof. Imran.
Berdasar survei yang dilakukan Iskandar (1983), kata Prof. Imran, hingga saat ini jumlah naskah Hikayat Prang Sabi sebanyak 46 buah. Mereka tersebar dibeberapa perpustakaan dan koleksi pribadi, diantaranya di Museum Pusat Jakarta (4), Antwerpen (1), Amsterdam (3), Universiteit Bibliotheek Leiden (36), Koleksi Snouck Hurgronje (1) dan Koleksi Djajadiningrat (1).
Selain itu, beberpa naskah HPS tersimpan di Perpustakaan A. Hasjmy (1), Museum Negeri Aceh sebelum tsunami (4), pasca tsunami (8), sehingga total terdapat 59 naskah HPS. “Mungkin amsih akan bertambah mengingat banyak orang menawarkan naskah hikayat ke Museum Aceh,†tambah Ketua Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM 1989-1995 ini.
Lebih lanjut, Prof. Imran mengatakan HPS sesungguhnya nama yang diberikan untuk kelompok teks, baik yang berjudul HPS maupun tidak, asal isinya membicarakan perang sabil, maka teks tersebut disebut HPS. HPS yang banyak dicipta dan dibaca saat masa perlawananan dengan Belanda terdiri dari dua genre, yaitu genre tambeh dan genre epos.
“HPS jenis tambeh kebanyakan ditulis oleh para ulama berisi nasihat, ajakan, dan seruan untuk terjun ke medan jihad fi sabillilah, menegakkan agama Allah dari rongrongan kafir dan meraih imbalan pahala yang besar,†lanjutnya. (Humas UGM).