Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang pesat berangsur-angsur merubah berbagai paradigma. Perubahan ini berjalan tanpa disadari, terutama oleh sebagian praktisi (dokter). Di lain pihak dengan tidak mengikuti perubahan tersebut, maka kemudahan informasi dan banyaknya teknologi baru akan mempersulit praktisi dalam melakukan penanganan penyakit mata.
Demikian pernyataan dr. Retno Ekantini, SpM, MKes dalam menyampaikan sambutan acara Seminar Oftalmologi Regional berkaitan dengan penanganan mutakhir kelainan mata, Sabtu (3/3) di ruang Auditorium Fakultas Kedokteran.
“Seminar ini menampilkan pokok bahasan yang mendasar dari beberapa sub bagian oftalmologi melalui perkembangan oftalmologi dasar hingga perkembangan terkini dari sudut terapi dan pembedahan,†ujar Retno selaku ketua panitia seminar.
Menurut Dr.dr Admadi Soeroso, SpM, MARS, Kelainan mata yang paling menjadi sesuatu yang ditakuti di masyarakat adalah penyakit Glaukoma. “Glaukoma merupakan penyebab kedua kebutaan utama di dunia setelah katarak atau kekeruhan lansa, dengan jumlah penderita diperkirakan sebanyak 70 juta orang. Dengan tanda-tanda mata teraba keras, tajam penglihatan menjadi nol dan seringkali disertai dengan nyeri mata hebat,†kata Admadi
Penanganan glaukoma yang perlu dilakukan menurut dr. Admadi ialah dengan dilakukan bedah insisional dengan menggunakan teknologi laser untuk menurunkan tekanan intra okuler (TIO).
Sedangkan Prof.dr Suhardjo membahas tentang kelainan myopia (rabun jauh) pada mata dapat diatasi dengan teknologi Lasik.
“Sampai saat ini myopia dapat ditolong untuk mendapat optimalisasi penglihatan dengan kaca mata, lensa kontak, pembedahan dan mengubah kekuatan pembiasan kornea dengan sinar laser atau lebih dikenal teknologi LASIK (Lasser Assisted In Situ Keratomilevis),†ujar Prof.dr Suhardjo.
Teknologi Lasik sendiri sudah lama di Indonesia, paling tidak sudah dari lima tahun yang lalu yang dipergunakan dalam memperbaiki kelainan refraksi melalui bedah kornea. Dalam hal ini ketebalan kornea dikurangi. Sangat aman mengurangi minus. Umur yang baik bagi pasien untuk menggunakan teknologi Lasik yakni 17-55 tahun.
Menurut Suhardjo, di Yogyakarta teknologi Lasik sudah dilakukan pada 55 orang atau 104 mata antara bulan Juli sampai Desember 2006. Hasil observasi menunjukkan bahwa lebih dari 95% dari target tajam penglihatan bisa dicapai pada hari pertama. Bahkan beberapa kasus sudah mencapai target optimalisasi penglihatan pada hari pertama pasca lasik. Pada minggu keempat pasca lasik semua target tajam penglihatan yang optimal (sesuai denga yang diharapkan) dapat tercapai. Berdasarkan efek samping, misalnya infeksi pasca bedah ternyata tidak dijumpai (0%), namun ada beberapa kasus dimana penderita mengeluh silau pada malam hari pasca lasik awal, tapi berangsur-angsurt hilang dengan sendirinya.
“Hasil pengurangan minus dengan menggunakan Lasik tetap dapat mengembalikan kemampuan tajam penglihatan hingga 100%,†paparnya .
Diakhir makalahnya, Prof. dr Suhardjo menyampaikan bahwa teknologi lasik sangat aman, dan apabila terjadi komplikasi maka hanya bersifat ringan, jumlahnya sangat kecil, dan mampu diatasi tanpa menggagalkan tujuan utamanya dalam optimalisasi penglihatan. (Humas UGM)