“Tradisi dalam Kebudayaanâ€
Tradisi adalah unsur kebudayaan yang sangat penting, yang saya maksud dengan tradisi adalah kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia, yang secara otomatis akan mempengaruhi aksi reaksi dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat itu. Adapun sumber kebiasaan bersama itu adalah tata nilai dan cita rasa yang hidup di dalam masyarakat itu.
Tata nilai adalah pengertian baik buruk, benar-salah, pantas-tak pantas, adil-tak adil, dan halal tak halal, yang semuanya bersumber pada agama, kepercayaan, mitologi, dan ideologi yang hidup di dalam masayarakat itu. Sedangkan, yang saya maksud dengan cita-rasa adalah pilihan-pilihan naluriah di dalam hal kepuasaan panca indera dan kepuasaan perasaan, yang terbentuk oleh ingatan akan pengalaman-pengalaman yang berabad-abad dalam bergaul dengan alam lingkungan dan dari tempat tinggal mereka.
Apa bila tata nilai dan cita rasa adalah isi dalaman (jeroan) yang membentuk tradisi, maka peneterapannya berwujud etika, tata cara, sopan santun, basa basi, ekpresi seni, bentuk upacara-upacara di dalam kehidupan, cara berpakaian, cara menghias diri dan cara memasak makanan. Adapun bentuk pelembagaan tradisi yang paling matang adalah hukum adat.
Pelanggaran terhadap tata cara, sopan santun dan etika bisa menimbulkan reaksi tidak suka, cemooh, amarah, kebencian dan kutukan dari masyarakat. Tetapi kalau si pelanggar itu orang kuat, orang kuasa atau orang kaya raya, ia bisa lolos dari semua sangsi dari masyarakat.
Sebagai contoh misalnya, seorang yang berkuasa melanggar etika tepo seliro “ya selamatâ€, tapi kalau orang biasa menginjak kaki orang lain, maka akan dikatakan
“Aduh Bung, masak kenapa kaki saya diinjak kan sakit, nanti kalau kaki anda diinjak bagaimana ?,â€
“Oh ya,,,ya maaf, saya tidak sengaja,â€
Tetapi kalau orang yang berkuasa, atau orang kaya, atau orang kuat, menginjak kaki orang lain, kemudian ia ditegur,
“Aduh kaki saja terinjak, nanti kalau kaki Anda diinjak bagaimana,â€
“Oh,… boleh kalau berani, silahkan menginjak kaki saya,â€
“Oh Maaf, bukan begitu maksud saya,†yang diinjak malah mohon maaf.
Jadi etika dan segala sesuatu merupakan sesuatu ikatan yang constrength tetapi tidak begitu kuat. Tetapi pelanggaran terhadap hukum adat menimbulkan sanksi yang lebih berat lewat denda, pengucilan, pembuangan atau bahkan hukuman mati.
Hukum adat adalah hasil dari tradisi budaya yang sangat matang dan kuat. Ia memberikan kepastian tertib hidup bersama yang kokoh kepada setiap orang dalam masyarakat. Dan ini adalah jaminan bagi adanya kedaulatan manusia. Karena kedaulatan manusia dilindungi oleh kedaulatan hukum adat yang kedudukannya lebih tinggi dari kedudukan pemimpin masyarakat atau raja.
Di dalam masyarakat suku bangsa yang hukum adatnya lebih tinggi kedudukannya dari penguasa, rakyatnya lebih punya kepastian hidup karena dijamin oleh kepastian hukum. Kohesi masyarakatnya lebih kokoh karena bersifat “dengan sendirinya†dan “suka relaâ€. Oleh karena itu, masyarakat seperti itu lebih sukar ditundukkan oleh penjajahan bangsa asing.
Sebaliknya suku-suku bangsa yang tradisinya tidak matang, hukum adatnya lemah atau bahkan punah, yang ada cuma penguasa yang mutlak kekuasannya, maka rakyatnya lemah, kurang dinamika, tanpa keadilan sosial ekonomi dan kohesi dalam masyarakat artificial dan mekanis. Jadinya mereka sangat lemah, dan akhirnya gampang dijajah bangsa asing.
Kerajaan Mataram Senopati yang punya raja-raja yang sangar tapi rakyatnya tidak punya perlindungan hukum adat yang kuat, sejak Amangkurat II sudah terjajah oleh VOC secara sosial-politik dan ekonomi. Dan pada abad ke -18, di jaman Pakubuwono II menjadi Raja Mataram, ia menyerahkan kerajaan Mataram kepada apa yang disebut sebagai “Eyang Kanjeng Gubernur Jenderalâ€, ialah Gubernur jenderal V.O.C- yang nota bene V.O.C itu cuma sebuah perusahaan dagang.
Kemudian muncullah Hamengku Buwono I yang memang jaya di medan laga terhadap VOC, tetapi sayang kalah diplomasi di pertemuan perdamaian Giyanti, sehingga beliau tidak mendapatkan kemenangan yang mutlak. Padahal seharusnya bisa. Selanjutnya sebagai penguasa beliau tetap memakai memakai gelar Senopati Ingalogo Kalifatulah Sayidin Panotogomo. Ialah penguasa mutlak yang kedudukannya lebih tinggi dari hukum. Meskipun sampai wafat beliau tetap dicintai rakyat karena sifatnya yang adil dan integritas moralnya yang tinggi, tetapi ketatanegaraannya, kerajaan yang beliau wariskan tidak banyak berbeda dengan ketatanegaraan raja-raja Mataram Senopati sebelumnya, yakni kekuasaan raja yang tidak terbatas. Dengan ketatanegaraan dan tata hukum semacam itu, maka penggantinya adalah Sultan Hamengkubuwono II, dengan gampang ditaklukkan oleh Raffles dalam tempo 3 hari saja.
Sejak saat itu kedudukan penguasa-penguasa pibumi di Jawa, dari Anyer sampai Panarukan, tak ubahnya seperti mandor penjajahan bangsa asing belaka. Adapun kerajaan di Deli, Indragiri, Palembang dan kerajaan-kerajaan Kalimantan yang para penguasanya berkedudukan lebih tinggi dari hukum, sudah lama pula ditundukkan oleh penjajah bangsa asing yakni sejak pertengahan abad 17.
Di daerah-daerah yang kuat hukum adatnya, seperti Aceh, Batak, Bangka dan Minangkabau misalnya baru bisa ditundukkan oleh penjajah asing pada abad 19. Setelah ada pemerintahan “Nederland Indie†yang lebih modern budaya politiknya karena sudah dilengkapi dengan pengetahuan humaniora, kerjasama moneter yang lebih baik dengan Bank di Inggris, dan persenjataan yang lebih baik di darat dan di laut. Di laut dioperasikan kapal-kapal Schooner, dan canon-canon yang lebih modern, dan juga senapan-senapan yang bisa disokong.
Toh Bali, Sulawesi Selatan, Toraja, Ternate dan Tidore masih terus bisa melawan dan bertahan sampa abad ke-20. Berkat kekuasaan lembaga adat mereka, yang menyebabkab sumber daya manusianya dinamis dan kuat. Ketika seorang Bugis Wajo ditanyai oleh orang, kenapa banyak orang bugis sukses dan mendapat posisi penting di tanah rantauan orang Bugis akan menjawab,
“Merdeka orang Wajo, hanya hukum yang aku pertuanâ€
Ketika akhirnya mereka bisa ditaklukan oleh penjajah; Tanah Bugis tahun 1905, tanah Toraja tahun 1910, dan Bali pada tahun 1910. Sempurnalah penjajahan bangsa asing di tanah air kita. Apa lagi setelah pada tahun 1938 Sultan Ternate dan Tidore menandatangani Korte Verklaring dan lange Verklaring yang berarti kekalahan mutlak terhadap pihak penjajah asing.
Jadi sebetulnya mitos yang disebarkan oleh para elit politik zaman tahun 1928 dan 1945 bahwa kita dijajah Belanda 3,5 abad, itu tidak berdasarkan kenyataan yang historis. Sebab kerajaan Belanda usianya kalah tua dengan kerajaan Jogja. Sampai sekarang usia kerajaan Belanda belum sampai 3,5 abad. Ya itulah nasib bangsa yang bicara presentence saja, mereka tidak begitu ingat tentang masa lalu, dan kurang paham memprediksi masa depan. Sehingga dengan demikian ada kesalahan pengertian sejarah, apalagi pihak Belanda waktu itu secara sadar meniadakan sekolah sejarah, sekolah pertanian, sekolah politik, sosiologi dan antropologi. Jadi “amnesia sejarah†memang bisa saja terjadi. Sebab ternyata Sulawesi Selatan dan Bali hanya dijajah 35 tahun saja.
Namun harus dicatat disini bahwa semua kemenangan Nederland Indie di Abad ke-20 itu adalah akibat dari kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Terusan Suez. Adanya kapal-kapal uap yang mereka miliki sehingga angkatan laut mereka tanpa tertandingi di Asia Tenggara, dan persenjataan mereka yang jauh melebihi kekuatan persenjataan para pejuang pribumi, karena mereka memiliki metraliur, dynamit dan canon-canon modern yang lebih portable. Lebih jauh lagi, adalah kenyataan blokade angkatan laut Belanda terhadap daerah-daerah yang belum menyerah memang terasa berat dan melelahkan bagi daya tahan orang-orang pribumi.
Malahan ada lagi faktor lain ialah kemantapan pemerintahan Hindia Belanda di dalam menjalankan operasi-operasi penjajahan yang terencana itu, mereka berani menghadapi inflasi dan defisit di budget mereka. Sebagai lumrahnya Negara yang membangun dan berjuang, Belanda pun tidak ragu-ragu menghadapi defisit, tidak buru-buru mengejar balance budget, karena defisit ini pada akhirnya nanti merangsang daya beli dan daya produksi, dan toh akhirnya bisa kembali balance, dengan kekuatan ekonomi yang riil dan nyata. Tapi pemerintah kita sekarang takut pada defisit, menjalankan balance budget, karena control dari IMF dan World Bank.
Tetapi toh harus diakui bahwa daulat hukum adat ternyata sangat ampuh sebagai sumber daya tahan dan daya hidup suatu bangsa. Inilah contoh kegunaan positif dari tradisi.
Setelah kemenangan terhadap daerah-daerah adat itu, pemerintah Nederland Indie yang sangat ahli dan paham dalam ilmu-ilmu humaniora, memanfaatkan ilmu itu untuk rencana-rencana penjajahan mereka. Mereka tidak serta merta menghapus hukum adat itu, tetapi dengan terencana, tahap demi tahap, mengerosikan hukum adat tersebut. Adapun caranya dengan memberikan gaji yang tinggi kepada para sesepuh penjaga adat, memanjakan keperluan-keperluan duniawi mereka, tetapi mereka harus bertangggung jawab langsung kepada Gubernur jenderal dan tidak bertanggung jawab kepada rakyat. Kewenangan para penjaga hukum adat itu justru malah diperbesar sehingga menimbulkan rasa cemburu pada golongan aristokrat yang tadinya menjadi pelaksana pemerintahan. Sekarang mereka merasa terlalu diawasi oleh lembaga adat. Dan untuk meredakan rasa cemburu kepada para pemimpin adat, mereka diberi subsidi yang sangat besar, sehingga mereka bersaing dalam soal kemakmuran dengan para pemimpin adat. Daulat rakyat tidak lagi mendapat perlindungan. Mereka yang seharusnya memimpin masyarakat kini saling berebut pegaruh dan kuasa antar mereka, hukum adat kian lama kian lemah, sehingga akhirnya lenyap dari ingatan kolektif rakyat.
Secara ironis, setelah merdeka dari penjajah. Pemerintah RI tidak segera merehabilitasi hukum adat dan lembaga hukum adat. Soekarno dan Soeharto yang sangat berminat kepada pemerintahan yang memusat itu justru malah melanjutkan aksi penjajah Belanda terhadap hukum adat. Lembaga adat di Sulawesi selatan yang dulu bertanggung jawab kepada rakyat. Oleh Belanda di rubah menjadi adat Self bestuur yang bertanggung jawab kepada Gubernur Jenderal, kemudian oleh Soekarno adat self bestuur itu dilebur dimasukkan menjadi anggota DPRD yang tentu saja menjadi kaki tangan pemerintah Pusat. Sedangkan kekuatan adat di daerah lain menjadi lemah karena para pemimpin adat mereka melemah ditindih oleh kekuasaan para Bupati dan komandan-komandan militer di setiap wilayah distrik militer.
Namun begitu kekuatan lembaga adat di Bali dan Minangkabau sukar dipudarkan fungsinya oleh penjajah Belanda maupun oleh rezim Soekarno, karena di Bali lembaga adat dan hukum adat berkaitan erat dengan kedaulatan agama dan kedaulatan “puraâ€. Sedangkan yang di Minangkabau berkaitan erat dengan kitab Allah dan Syariah.
Baru setelah Orde baru, berkat kekuatan politik Golkar, Amir Mahmud dan Azwar Anaz, pertahanan lembaga adat dan hukum adat di Minangkabau jebol. Sebelas Nagari dijadikan 2300 desa. Maka hanya di Bali, hukum adat itu bisa bertahan sampai saat ini.
Dewasa ini dari lunturnya kekuatan hukum adat dan lembaga adat, adalah mencairnya kohesi bangsa di daerah-daerah. Kerusuhan antar golongan agama di Ambon, Maluku, dan Poso lepas dari kendali hukun adat yang dulu di jaman tradisional bisa mengatur kehidupan harmonis antara rakyat yang berbeda-beda agama. Kini, karena sejak rezim Soekarno dan Soeharto para pemuka adat sudah pudar di bawah kekuasaan para Bupati dan para Komando distrik Militer, maka sekian puluh tahun pergantian generasi demi generasi, amnesia terhadap tatanan adat yang mengatur harmonisasi kehidupan antar umat yang berbeda agama di dalam masyarakat pun terjadilah.
Hal itu berbeda dengan apa yang terjadi di Bali. Keutuhan hukum adat masih bisa melindungi keutuhan kohesi masyarakat mereka. Meskipun mereka sudah banyak diserbu oleh para pendatang dari luar, dan meskipun mereka sudah menderita dengan parah sebagai akibat bom teroris sebanyak dua kali, namun mereka tidak kehilangan tradisi, sikap, jiwa dan aksi reaksi mereka bila menghadapi masalah-masalah dalam kehidupan. Mereka masih bisa berbekal upacara-upacara agama dan praktek dari nilai etika mereka. Mereka bisa berdamai dengan malapetaka yang menimpa mereka dengan terhormat dan beradab.
Maka seandainya pun secara ajaib, ada konsensus politik untuk menghidupkan kembali hukum-hukum adat di daerah-daerah, maka hal itu sulit untuk dilaksanakan. Sebab sejarah tidak pernah bisa berulang dan waktu selalu berjalan maju.
Menurut Sultan Mudaffar dari Ternate, apabila kita ingin menghidupkan lagi berbagai sisa-sisa yang baik dari tradisi masa lalu, apa yang bisa dilakukan bukanlah pengulangan tetapi “re-inventing†atau dengan kata lain menciptakan sesuatu yang baru berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengalaman-pengalaman dari tradisi yang lalu yang baik dan berguna. Pada hakekatnya itulah penyegaran budaya yang kreatif.
Rupa-rupanya ini pula yang dilakukan Airlangga diawal abad ke-11 di masa lalu. Waktu itu beliau berumur 17 tahun. Beliau mewarisi masalah-masalah sosial politik dari pemerintahan kakeknya, Raja Dharmawangsa yang baru lengser. Kohesi masyarakat kacau balau, ketatanegaraan amburadul. Apa yang pertama beliau lakukan? adalah memerintahkan semua desa adat yang berbagai ragam adat istiadatnya satu sama lain yang tentu saja berbeda, karena desa nelayan tak mungkin sama adatnya dengan desa pertanian, dan tidak sama pula dengan desa undagari atau kemasan, begitu seterusnya, semua desa adat itu diminta untuk meninjau dan menyusun kembali hukum adat mereka, agar lebih adil dan lebih mampu membuka diri dalam pergaulan yang lebih luas. Sesudah itu beliau perintahkan agar hukum adat itu punya pengawal yang dinamakan Dewan penjaga adat yang berjumlah 40 orang untuk setiap desa adat.
Inilah ide yang bahkan kita yang hidup di dunia modern ini tidak ada, para ahli tata Negara kita dan para elit politik kita tidak menciptakan pengawal untuk hukum, sehingga hukum kita menjadi tidak mandiri dan tidak terkawal. Tetapi, apa yang diciptakan Airlanggga menciptakan tata hukum yang mandiri dan terkawal.
Sesudah itu, beliau juga menyusun hukum kerajaan untuk mempersatukan semua kepentingan dalam masyarakat yang unsurnya berbeda-beda itu. Bukan untuk menyeragamkan, tetapi untuk menciptakan harmoni dari kepentingan-kepentingan yang dibiarkan untuk tetap berbeda-beda. Barangkali ini yang oleh Mpu Tantanakung disebut sebagai “Bhineka Tunggal Ikaâ€. Dan rupa-rupanya inilah pula asal usul dari pengertian “Deso Mowo Toto Negoro Mowo Coroâ€.
Perbedaan-perbedaan dalam berbagai tata desa harus dihormati. Boleh ada cara-cara untuk mengelola kepentingan keutuhan Negara, tetapi cara itu tidak boleh “murang totoâ€. Ternyata cara Airlangga tidak menyebabkan Negara menjadi terpecah belah, tetapi justru menyebabkan kokohnya kohesi antar daerah-daerah yang berbeda adatnya.
Inilah salah satu model untuk dipertimbangkan, seandainya bangsa ini ingin melakukan “reinvention†dalam kebudayaan yang kini tengah berantakan. Sedangkan di bidang cita rasa, khususnya di bidang kesenian, memelihara tradisi tidak terlalu sulit. Cukup dengan melakukan konservasi dan sikap peduli dari orang-orang kreatif di bidang cita rasa, agar mereka tahu terima kasih kepada tradisi yang telah mengembangkan cita-rasa bangsa sampai ke taraf yang sekarang, yang tidak bersikap konsumtif kepada pengaruh cita-rasa dari masayarakat adi kuasa di luar negeri.
Sekianlah,
Jogja, 03 Maret 2007
WS Rendra