
Setelah berhasil dengan spesial gala di Festival Film Asia JAFF 2017, film Tengkorak karya sivitas akademika Sekolah Vokasi UGM akan mewakili Indonesia di Cinequest Film and VR Festival 2018 di Silicon Valley, California, Amerika Serikat.
Demikian dikatakan Dekan Sekolah Vokasi UGM, Dr. Wikan Sakarinto, didampingi Yusron Fuadi, sutradara film Tengkorak, di ruang Fortakgama UGM, Senin (11/12). Film Tengkorak dinyatakan layak oleh juri Cinequest untuk berkompetisi memperebutkan Best Sci-Fi, Fantasy, dan Horror Feature Award pada Cinequest 2018.
“Menurut hasil polling yang dirilis oleh ‘USA Today’, Cinequest adalah festival film terbaik di USA,” ujar Wikan Sakarinto.
Wikan Sakarinto mengatakan pihak Cinequest mengirimkan invitasi agar film Tengkorak (Skull) menyelenggarakan ‘World Premier’ pada pemutaran film di Cinequest 2018, California bersamaan dengan puluhan atau ratusan film-film yang dinyatakan layak oleh Cinequest. Dalam kegiatan yang dihadiri ribuan sineas dan industri film tersebut, sekitar 40 – 50 film layak untuk diputar.
“Film Tengkorak yang mewakili Indonesia di ajang ini. Tim produksi film ini adalah dosen dan mahasiswa Prodi Diploma Komputer dan Sistem Informasi Sekolah Vokasi peminat multimedia,” katanya.
Yusron Fuadi menambahkan film Tengkorak yang berdurasi 130 menit ini memakan waktu pembuatan 127 hari untuk shooting di berbagai lokasi. Film yang mengambil lokasi latar di 4 kabupaten dan kota di DIY, Singapura, Bromo dan banyak tempat lainnya merupakan film dengan ide cerita unik dengan alur menarik dan sebuah fantasi yang terbungkus dengan balutan humor dan kearifan lokal khas Yogyakarta.
Film ini membawa misi untuk mengangkat hal-hal yang baru ke dalam dunia perfilman Indonesia. Film fiksi ilmiah seperti Tengkorak memang sangat jarang dilirik oleh produsen-produsen film Indonesia,” katanya.
Yusron mengungkapkan film Tengkorak bercerita tentang misteri penemuan fosil tengkorak berumur 170 ribu tahun di Pulau Jawa. Penemuan ini menimbulkan kebingungan dan perdebatan di antara para ilmuwan dan pemuka agama, serta perjalanan seorang gadis yang bertekad untuk mengungkap misteri di baliknya.
“Semua berawal dari ide nekat karena kita semua tim tidak memiliki modal besar untuk membuat film ini. Gaji-gaji kami sebagai pengajar pun kami relakan untuk kelangsungan film ini,” ungkapnya. (Humas UGM/ Agung)