Berdasarkan Virtual Social Media Index yang dirilis Center for Digital Society (CfDS) FISIPOL UGM, peringkat Indonesia meningkat dari posisi 12 di tahun 2015 ke posisi 6 pada tahun 2017.
Kenaikan juga tampak dalam Virtual Connectedness Index yang menampatkan Indonesia berada pada posisi 9, naik 12 peringkat dibanding 2 tahun sebelumnya.
“Melihat potensi dari kemajuan teknologi saat ini, Indonesia dapat memanfaatkan momentum dengan lebih baik untuk memperkuat kapasitas utilisasi sarana komunikasi digitalnya,” ujar Viyasa Rahyaputra, peneliti CfDS, Rabu (13/12) di FISIPOL UGM.
Indeks Konektivitas Virtual ini sendiri merepresentasikan intensitas komunikasi virtual negara-negara di dunia diukur dari 3 indikator utama, yakni popularitas virtual, intensitas media sosial, serta intensitas situs web. Popularitas institusi negara dan kepala negara diukur dari hasil jumlah pencarian di Google dan Youtube serta jumlah kata yang tercuplik dalam laman Wikipedia, sedangkan intensitas situs web dilihat dari aktif atau tidaknya situs website milik pemerintah dan jumlah pengunjung situs tersebut setiap harinya.
Untuk indikator intensitas media sosial data yang dilihat adalah penggunaan Facebook dan Twitter oleh kepala negara. Hal-hal yang bisa memengaruhi kepopuleran ini di antaranya intensitas posting, intensitas interaksi dengan pengguna, penggunaan bahasa Inggris untuk menarik audiens internasional, serta jumlah pengikut di media sosial.
“Dari 203 negara yang kita cuplik secara umum Indonesia cukup memiliki performa yang baik dan masuk 10 besar. Artinya, Indonesia secara umum dan Presiden Joko Widodo secara khusus sudah memiliki kehadiran yang baik di tengah masyarakat global,” imbuh Viyasa.
Ia menjelaskan, selain Indonesia, posisi 10 besar diisi oleh negara-negara besar dunia seperti Amerika Serikat yang kini dipimpin sosok kontroversial Donuld Trump, serta beberapa negara Eropa, seperti Inggris dan Perancis serta negara-negara Amerika Latin, yaitu Meksiko dan Venezuela.
Secara keseluruhan, terlihat ada peningkatan dalam penggunaan sarana komunikasi virtual oleh pemerintah di hampir seluruh negara. Meski demikian, sejak dilakukannya penelitian serupa pada tahun 2015, beberapa negara yang diteliti menunjukkan perubahan yang signifikan, baik yang berupa kenaikan atau penurunan.
“Ada beberapa negara yang popularitas institusi dan pemimpinnya meningkat tajam, seperti Kanada dan Filipina, ada beberapa yang justru menunjukkan performa yang kurang bagus sehingga mengalami penurunan,” jelasnya.
Secara keseluruhan indeks ini menunjukkan beberapa temuan menarik yang dapat memberikan indikasi-indikasi tertentu, misalnya fakta bahwa negara maju dan demokratis merupakan negara yang memiliki skor tinggi dalam indeks-indeks yang disajikan.
Karena itu, indeks yang dihasilkan CfDS ini bisa dijadikan awalan untuk penelitian lanjutan dalam berbagai hal dalam kaitan tentang konektivitas virtual di era digital. (Humas UGM/Gloria)