Pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dengan memberikan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dinilai melanggar hukum internasional.
“Pengakuan AS ini melanggar hukum internasional karena memberikan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Padahal, dalam kesepakatan Dewan Keamanan PBB telah memasukan Yerusalem posisinya berada di bawah pengawasan PBB,” jelas Pakar Politik Timur Tengah UGM, Dr. Siti Mutiah Setiawati, Kamis (14/12) saat konferensi pers yang diselenggarakan Institute of International Studies (IIS) HI UGM di FISIPOL UGM.
Seperti diketahui, status Yerusalem telah ditetapkan dalam Resolusi PBB Nomor 181 Tahun 1947 berada di bawah kewenangan internasional. Sesuai kesepakatan tersebut Yerusalem menjadi kota bersama antara Israel dan Palestina (two state solution).
Siti mengatakan hal tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebab, jika dibiarkan berlarut-larut akan menganggu stabilitas politik di kawasan timur tengah, terutama di Israel.
“Kalau Yerusalem dibiarkan menjadi ibu kota Israel akan mengganggu prose perdamaian negara-negra Arab dengan Israel. Disamping itu, dikhawatirkan juga akan mengganggu stabilitas hubungan tiga agama besar dunia, yakni Islam, Yahudi, dan Kristen,”urai dosen Hubungan Internasional UGM ini.
Siti pun mendukung pemerintah untuk terus konsisten dalam mengupayakan kemerdekaan Palestina seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Indonesia. Pemerintah diharapkan juga dapat bekerja sama dengan negara-negara yang tergabung dalam OKI untuk menggalang dukungan menolak keputusan yang dikeluarkan secara sepihak oleh Amerika Serikat.
“Harapannya pemerintah bisa mendorong OKI untuk mengeluarkan pernyataan bersama mencabut dukungan AS ke Israel,”tuturnya.
Sementara itu, Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Ketua Departemen HI FISIPOL UGM, menyebutkan kebijakan yang dikeluarkan Trump terkait Yerusalem bersifat destruktif. Pasalnya, Amerika Serikat tidak mampu lagi memainkan peran sentral dalam proses perdamaian Israel-Palestina.
“AS secara efektif telah menyatakan diri untuk membuat situasi di Timur Tengah lebih tidak terkontrol. Alih-alih mencari kebijakan konstruktif, tetapi justru mengeluarkan kebijakan yang mengarahkan ke destruksi yang lebih besar,” terangnya. (Humas UGM/Ika)