
Selama dua puluh tahun terakhir, Indonesia menjadi perhatian dunia karena kerap kali mengalami berbagai musibah bencana. Bencana yang mengakibatkan kematian banyak orang dan hewan serta berdampak pada kerusakan infrastruktur yang pada akhirnya mengarah pada kerugian ekonomi.
Menurut Sri Hartini, S.Kep., Ns., M.Kes., Ph.D, letak Indonesia yang berada di Pasific Ring of Fire menjadikan Indonesia selalu berhadapan dengan dengan risiko terjadinya berbagai bencana, seperti letusan gunung api, gempa bumi, banjir dan tsunami. Karena itu, manajemen penanggulan bencana menjadi kegiatan utama yang harus dilakukan.
“Berbagai aktivitas yang harus dilakukan, antara lain upaya pencegahan, mitigasi, kesiapan, peringatan dini, tanggap darurat, bantuan darurat, pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Semua yang berkaitan dengan bencana dilakukan pada tahapan sebelum, saat dan pasca bencana,” tuturnya di UC UGM, Kamis (21/12) saat berlangsung The 13th International Seminar on Disaster: gender-Inclusive Disaster Risk Management.
Dalam kondisi ini, menurut Sri Hartini, perawat menjadi garda depan institusi pelayanan. Pelayanan perawat baik di klinik maupun di komunitas memiliki peran sangat penting baik pada fase persiapan, tanggap darurat maupun pemulihan bencana.
Oleh seb itu, penyelenggaraan The 13th International Seminar on Disaster: gender-Inclusive Disaster Risk Management oleh Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) Fakultas Kedokteran UGM bersama Kobe University, Jepang menjadi sangat penting. Sebab, antara Indonesia dan Jepang memiliki kesamaan sebagai negara yang rawan bencana khususnya gempa bumi.
“Tema dipilih dengan mempertimbangkan bahwa dampak bencana terutama disebabkan oleh faktor alam tidak gender netral,”katanya.
Sebagai ketua panitia, Sri Hartini berharap seminar bisa menjadi sarana pertukaran pengalaman dalam persiapan, penanganan maupun rehabilitasi bencana. Selain itu, menjadi sarana memfasilitasi peningkatan kompetensi kognitif maupun psikomotor untuk perawat agar semakin bisa meningkatkan peran dalam manajemen penanggulangan bencana.
“Dari sini bisa mengajarkan peran dan tanggung jawab perawat dalam manajemen penanggulangan bencana, terutama terkait dengan peran dan isu gender, baik pada perawat maupun mahasiswa keperawatan,” harapnya.
Prof. Satoshi Takada, salah satu nara sumber seminar, mengungkapkan terjadi perubahan peran perempuan di Jepang pada beberapa dekade terakhir ini. Peran dari wilayah privat ke wilayah publik, selain mengurus rumah tangga juga bekerja di luar.
Akibatnya, membawa pengaruh kepada keluarga dan komunitas. Beberapa konflik berkaitan dengan peran perempuan ini pun muncul dalam pekerjaan dan rumah tangga.
“Peran perempuan dalam kejadian bencana belum banyak dikaji. Karena perempuan terbiasa mengurusi anak-anak dan orang tua, maka saat terjadi bencana tuntutan terhadap peran mereka pun berbeda dengan laki-laki,” katanya.
Satoshi Takada berpendapat kerentanan dan risiko perempuan saat terjadi bencana berbeda dengan laki-laki. Bagaimanapun keterampilan dan kemampuan keduanya dalam pengurangan risiko bencana berbeda.
Perempuan, kata Satoshi, bisa menjadi agen kerentanan bencana bagi lansia dan anak-anak. Peran perempuan bisa memberikan usulan terhadap perubahan untuk pengurangan risiko bencana dan memperkuat ketahanan komunitas.
“Perempuan bisa memberdayakan komunitas setelah bencana karena pengalaman dan kemampuannya dalam mengurus rumah tangga, mereka dapat berkontribusi dalam manajemen risiko bencana. Karena itulah perempuan harus dilibatkan dalam manajemen risiko bencana,”katanya. (Humas UGM/ Agung)