Keberadaan kelompok relawan menjadi salah satu fenomena yang muncul dalam kontestasi politik pemilihan kepala daerah beberapa tahun belakangan. Analisis yang dilakukan oleh dosen FEB UGM, Sari Winahjoe Siswomihardjo, menunjukkan bahwa motivasi untuk melakukan kerelawanan politik ini adalah keinginan akan terjadinya perubahan.
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan melakukan kerelawanan politik karena menginginkan adanya perubahan, yaitu perubahan akan tercapainya kesejahteraan dan kemakmuran, adanya pemimpin yang jujur dan adil, dan adanya rasa syukur dan ikhlas,” ujarnya saat mengikuti ujian terbuka program doktor pada Jumat (22/12) di FEB UGM.
Gerakan berbasis kesukarelawanan, ujarnya, muncul di tengah kemampatan politik dan perilaku partai politik di Indonesia yang terlalu berorientasi pada kekuasaan. Dalam disertasinya yang berjudul “Identifikasi Motivasi Relawan pada Pemasaran Politik”, ia berusaha mengungkap faktor-faktor yang mendorong seseorang menjadi relawan untuk kemudian mengembangkan pemetaan berbagai tipe relawan pada pemasaran politik.
Studi ini, ujarnya, didorong oleh fenomena bertumbuhnya kelompok relawan seperti ProJo, Teman Ahok, Jasmev, Japemethe, dan sebagainya yang terbukti berkontribusi besar pada keberhasilan tokoh-tokoh yang mengikuti pemilihan pimpinan daerah. Peran kelompok ini menjadi terlebih penting bagi calon kepala daerah yang maju dari jalur perseorangan.
“Dalam konteks pemilihan kepala daerah di Indonesia melalui jalur perseorangan, peran relawan menjadi sangat penting mengingat tantangan awal bagi para calon pimpinan daerah tersebut adalah syarat adanya dukungan masyarakat yang cukup,” jelas pengajar di Departemen Manajemen ini.
Studi untuk melakukan identifikasi motivasi ini sendiri dilakukan secara eksploratif melalui desain penelitian kualitatif studi kasus ganda yang melibatkan 15 orang partisipan. Selain motivasi keinginan akan perubahan, temuan lain dari studi ini menunjukkan bahwa di samping visi dan misi, kredibilitas, integritas, serta konsistensi dalam menjalankan program-program yang dijanjikan selama kampanye menjadi penentu seorang relawan politik untuk melanjutkan kerelawanannya.
Sementara itu, untuk pemetaan terkait relawan politik di Indonesia, Sari memaparkan bahwa dari 15 partisipan, hanya 5 orang yang memiliki tipe idealis, dan 10 orang memiliki tipe kerelawanan situasional. Terkait hal ini, ia menemukan adanya ketidaksesuaian antara model kerelawanan secara umum dengan apa yang terjadi pada konteks kerelawanan politik. Karena itu, ia mendorong dikembangkannya Model Kerelawanan Politik Berkelanjutan.
“Dari jawaban partisipan, bisa disimpulkan tentang persepsi relawan terkait kerelawanan politik, yaitu bahwa kerelawanan politik diibaratkan sebagai suatu perjuangan dan bahwa dunia politik adalah dunia yang gaduh, penuh dengan ketidakpastian dan tantangan. Untuk itu bagi seorang relawan diperlukan pengorbanan dan kemauan membantu tanpa pamrih,” paparnya.
Implikasi dari adanya risiko dalam memberikan bantuan berupa dukungan politik kepada seorang tokoh, yang mengarahkan pada adanya variabel kepercayaan sebelum memutuskan melakukan kerelawanan menunjukkan pentingnya bagi individu yang akan turut serta dalam Pilkada untuk menjaga kredibilitas dan integritasnya serta kemampuan mengemas visi dan misi yang tepat dan inovatif sehingga mampu menciptakan perubahan.
Ia pun menyarankan kepada tokoh politik untuk konsisten dalam menjalankan visi dan misi beserta program yang dijanjikan selama kampanye juga mempertahankan kredibilitas dan integritas untuk bisa mempertahankan relawan-relawannya. (Humas UGM/Gloria)