Oleh: Prof. Drg. Etty Indriati, Ph.D.
Identifikasi: Sungguh jalan kehidupan dan tibanya kematian tidak dapat diduga. Hampir 1 tahun silam, Prof. Koesnadi menjabat tangan saya memberikan piagam mahasiswa teladan UGM. Tidak dinyana pada 7 Maret 2007, tangan saya menyentuh jasadnya untuk mengidentifikasinya. Adalah sms Prof. Sutaryo (Kepala Bencana RS Sardjito) yang menanyakan: “Bagaimana Prof. Koesnadi?” ketika saya meng”update” jumlah korban yang telah bisa kami identifikasi pada jam 22.00, 7 Maret 2007 yang meyakinkan saya untuk mencari mana jenazah Prof. Koesnadi; diantara informasi simpang siur bahwa beliau selamat dan dirawat di RS AURI. Prosedur Disaster Victim Identification meliputi 5 tahap: (i) evakuasi jenazah, (ii)pengumpulan data antemortem, (iii) pemeriksaan postmortem (oleh antropolog forensik, dokter forensik, dan dokter gigi forensik); (iv)rekonsiliasi, dan (v) debrief and release. Dua data antemortem 006 berupa OPG (Oral Panthomoram) saya analisa. Saya pisahkan map kuning antemortem dan map merah muda postmortem: laki-laki dari perempuan, Kaukasid dari Mongolid, dan 6 map yang sudah teridentifikasi.
Jam 22.30 saya turun dari ruang rekonsiliasi untuk mencari P.Koesnadi, dan ada seorang laki-laki bertanya: Prof. Etty, bila seseorang meninggal, ia bertambah panjang atau pendek? Saya jawab: “in case of fire, it can shrink” (dalam kasus terbakar, dapat memendek), entah mengapa, saya jawab dalam bahasa Inggris. Lalu saya tanya: “Maaf, bapak siapa?” Beliau jawab:”Saya adiknya Prof. Koesnadi”. Oh maaf sekali, saya tidak tahu, kami akan membantu semampu kami mengidentifikasi karena ada roentgen gigi sebelum meninggal.
Berdasarkan perbandingan data antemortem dengan postmortem, ada satu jenazah Mongoloid laki-laki nomor 020 yang kemungkinan besar identik (matched). Saya minta tolong dokter Heri dari Garuda untuk mencari senter, karena mata yang lelah dan malam telah larut perlu fokus penerangan yang bagus. Kami periksa gigi jenazah dan mencocokkannya dengan roentgen foto gigi, dan hasilnya cocok. Saya periksa sekali lagi bahwa jenazah adalah benar laki-laki Mongolid.[i] Adik Prof. Koesnadipun menyalami dan mengatakan: God bless you berulang kali. “Tabahkan hati Bapak”, begitu jawaban saya. Sungguh kelegaan yang tiada tara dapat memberi kepastian kepada keluarga. Sebelum tim kami menyerahkan jenazah beliau kepada Yayasan Bunga Selasih, kami bersimpuh dalam doa, agar arwah Prof. Koesnadi diterima di sisi Tuhan Yang Maha Penyayang. Ketika saya sempatkan diri melayat Prof.Koesnadi sekembali dari lokasi pesawat dan ditengah pekerjaan identifikasi yang belum usai, saya bertemu lagi dengan adik Prof. Koesnadi di Balairung, beliau mengatakan: it is a miracle. Life is full of miracle indeed, if we believe in what we believe can happen.
Memori: Mungkin karena otak bekerja penuh konsentrasi, saya tegar ketika memeriksa dan mengidentifikasi Prof. Koesnadi. Dalam perjalanan pulang ke rumah lewat tengah malam, sambil menyopir saya menangis, teringat baru 4 hari sebelumnya, 3 Maret 2007, saya bertemu Prof. Koesnadi dalam pembukaan Pusat Kebudayaan UGM dan pameran lukisan. Kami tidak bertukar kata, hanya bertukar senyum, karena saya sibuk menjawab pertanyaan pemirsa mengenai lukisan saya.
Kenangan tentang Prof. Koesnadi berputar jauh ke 21 tahun silam; di mana beliau menyerahkan piagam mahasiswa teladan 3 UGM kepada saya dalam upacara 17 Agustus 1986. Kenangan mengenai beliau terus meloncat-loncat, yang paling terasa menghujam adalah munculnya rasa kehampaan karena Prof. Koesnadi adalah satu diantara sedikitnya orang tua yang tidak membentang jarak kepada yang lebih muda; orang tua yang dapat menghargai orang muda. Saya ingat dalam rapat Majelis Guru Besar untuk menentukan Prof. Sangkot Marzuki sebagai salah satu calon penerima Sultan Hamengku Buwono IX Award 2006; adalah Prof. Koesnadi yang dengan tegas menyatakan perlunya menghargai anak muda yang berbakat dan berjasa kepada nusa dan bangsa, bahwa HB IX award tidak hanya untuk orang-orang tua saja. Keberanian dan kejujuran mengemukakan pendapat, manusiawi, ramah, sopan, sabar, tegas, tidak memagari diri dengan kisaran umur ketika bergaul, membuat orang banyak mengagumi beliau. Inipun terbukti dari ribuan pelayat yang mengantar beliau pada keabadian. Masih saya rasakan jabatan tangan ketika menyerahkan piagam mahasiswa teladan 21 tahun silam; masih teringat senyuman terakhirnya di Pusat Kebudayaan, dan suara membela mereka yang terpinggirkan dengan lantang, dan membela bahwa orang muda usiapun patut disapa. Ketika seserorang tidak memagari diri sendiri dengan perbedaan pada apa yang nampak: usia, intelektual, status ekonomi dan sosial, ialah humanis sejati: kata-kata, tulisan, dan perbuatannya berirama sama senada.
——————————————————————————–
[i] Pada 7 Maret 2007, pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA 200 gagal mendarat dan terbakar sekitar 300 meter dari landasan Bandara Adisucipto, Yogyakarta; pada sekitar jam 6.55 pagi. Dari 133 penumpang dan 7 awak pesawat; 21 meninggal dalam keadaan terbakar dan sulit dikenali; dan 119 hidup. Dari 21 yang meninggal, 16 orang Indonesia (ras Mongolid) dan 5 orang Australia (ras Kaukasid).