Akademisi UGM menyesalkan keputusan Presiden, Joko Widodo, dan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, yang memperbolehkan nelayan kembali menggunakan cantrang untuk menangkap ikan, meski sudah diketahui bahwa cantrang tidak ramah lingkungan karena berdampak menurunnya populasi ikan dan lenyapnya profesi nelayan. Hal itu mengemuka dalam diskusi mengenai dampak cantrang yang berlangsung di Departemen Perikanan, Fakultas Petanian UGM, Senin (22/1).
Pengamat perikanan dan kelautan, Ir. Sukardi MP, mengatakan peraturan menteri KKP tentang pelarangan cantrang dilakukan untuk upaya konservasi. Namun, dengan diperbolehkannya cantrang ini akan mengakibatkan upaya konservasi sulit dilakukan apalagi untuk perairan bagian utara Jawa. “Di Pantura, alat tangkap nelayan adalah cantrang,” katanya.
Seperti diketahui, jumlah cantrang saat ini meningkat tajam dari sebelumnya 5.781 unit tahun 2015 menjadi 14.357 unit di tahun 2017. Dengan bertambahnya jumlah kapal cantrang maka semakin banyak potensi ikan kecil yang tertangkap. “Saya pikir asas manfaat dan konservasinya dikesampingkan dengan diperbolehkannya penggunaan cantrang ini,” katanya.
Dosen Perikanan UGM, Ir. Supardjo, SD, MS., mengatakan cantrang masuk dalan kelompok pukat tarik yang sering digunakan nelayan tradisional di pantai utara Jawa dengan jarak 2-3 mil dengan kedalaman 30-60 meter. Selain jumlah kapal cantrangnya yang semakin bertambah, Supardjo mengatakan umumnya tangkapan dari cantrang mampu menangkap ikan–ikan kecil yang menjadi non target.
Bukan hanya hasil tangkapan yang lebih banyak ikan non target, kapal cantrang saat ini umumnya sudah menggunakan tali selambar dengan panjang lebih dari 1.000 meter bahkan ada yang sampai 6.000 meter. Ia mengilustrasikan, tali selambar 1.000 meter bisa menjangkau luasan area tangkapan hingga 40 hektar untuk sekali tarik, sedangkan ukuran 6.000 meter bisa menjangkau 2.00an hektar. “Itu yang ukuran 6.000 meter saja luasan tangkapannya bisa seluas kampus UGM,” katanya.
Tidak hanya sampai di situ, kata Supardjo, berdasarkan hasil penelitiannya, separuh hasil tangkapan ikan dari cantrang umumnya tidak sesuai target. Nelayan cantrang di Lamongan, misalnya, mampu menangkap 51 persen ikan target utama dan 41 persen saja ikan yang menjadi non target. Sedangkan di Tegal, sekitar 46 persen tangkapan ikan yang sesuai target utama dan non target bisa mencapai 54 persen. “Sehingga non target lebih besar dari separuh hasil tangkapannya,” katanya.
Ikan yang sesuai target akan dijual ke pabrik surimi sedangkan untuk non target dijual untuk tepung ikan yang digunakan untuk menutup biaya operasional. “Ikan non target seperti ikan Petek dan sebagainya digunakan sebagai bahan pembuatan tepung ikan untuk pakan ternak,” katanya
Menurutnya, untuk menjaga konservasi ikan agar jumlah ikan tetap lestari nelayan di pantura menggunakan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan, seperti bubu lipat dan rajungan.
Dr Suwarman Partosuwiryo dari Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, mengatakan isu cantrang saat ini sudah menjadi komoditas politik. Menurut pendapatnya, pihak yang menolak pelarangan cantrang ketika berdemo di depan Istana beberapa waktu lalu bukan hanya dari nelayan yang masih enggan meninggalkan cantrang, namun juga didukung oleh pabrik surimi dan pabrik tepung ikan yang selama ini mendapat manfaat dari ikan kecil hasil tangkapan nelayan cantrang. “Yang teriak itu politikus, pabrik surimi, dan pabrik tepung ikan. Takut pabrik surimi dan tepung tidak hidup sehingga isu cantrang menjadi isu politik,” tuturnya.
Ia mengkritik kebijakan perpanjangan penggunaan cantrang yang waktunya tidak dibatasi. Hal itu akan menambah jumlah kapal cantrang karena kenyataan di lapangan semakin banyak kapal cantrang dengan ukuran besar dengan menggunakan mesin teknologi yang semakin canggih. “Alat tarik sudah menggunakan mesin, kalau dulu naikkan cantrang pakai tenaga manusia. Sasaran ikan dari cantrang ini populasi ikan ukuran kecil,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)