Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satu-satunya sub spesies Gajah Asia yang statusnya terancam punah. Sejak tahun 2011 hingga tahun 2017 sebanyak 150 ekor Gajah Sumatera mati akibat konflik antara gajah dengan manusia. Namun, ancaman terbesar terhadap Gajah Sumatera adalah alih fungsi hutan yang mengakibatkan penyempitan habitat. Diperkirakan saat ini ada sekitar 1.700 gajah yang tersebar di Aceh, Lampung, Jambi dan Sumatera Selatan.
Untuk meningkatkan kepedulian terhadap upaya konservasi gajah dan meningkatkan jumlah populasinya, dosen Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Dr. drh. Wisnu Nurcahyo, dan drh. Muhammad Tauhid Nursalim, M.Sc serta drh. Muhammad Wahyu dari Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation (Vesswic) membentuk sebuah konsorsium yang didanai oleh USAID/TFCA guna mendukung kebijakan pemerintah untuk meningkatkan populasi gajah sebesar 10% di tahun 2019.
Wisnu Nurcahyo mengatakan salah satu upaya yang kini tengah dilakukan adalah penyusunan buku panduan pengendalian gajah bagi mahout (pawang gajah) untuk mendukung program breeding dan buku panduan bagi dokter hewan dalam penanganan kesehatan gajah. “Kita juga meminta masukan dari multi stakeholder yang berkepentingan terhadap konservasi gajah ini,” kata Wisnu dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (29/1).
Beberapa pihak yang dimintai masukan untuk penyusunan buku panduan tersebut, kata Wisnu, melibatkan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), dan perwakilan dari Forum Komunikasi Mahout Seluruh Indonesia (FOKMAS) serta perwakilan dari Gembira Loka Zoo dan PT. Taman Wisata Candi Borobudur (TWC).
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), Dr. drh. Heru Setijanto, mengatakan untuk mendukung upaya konservasi dan peningkatan populasi gajah diperlukan peningkatan kapasitas dokter hewan dan mahout terkait medik konservasi.
“Terutama pada saat menangani kasus kesehatan, perawatan rutin maupun breeding,” ujarnya.
Sementara itu, Donny Gunaryadi menyampaikan kasus-kasus konflik di lapangan mengakibatkan kelukaan dan kematian gajah dari tahun-ke tahun sehingga dibutuhkan peran dokter hewan dan mahout untuk menangani kondisi tersebut. Adapun perwakilan Gembira Loka Zoo dan PT. TWC menyampaikan komitmennya untuk mendukung upaya peningkatan populasi Gajah Sumatera.
Kepada wartawan, sekretaris Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), Donny Gunaryadi, mengatakan sedikitnya ada 1.700 Gajah Sumatera yang tersisa dan hidup di hutan Sumatera. Namun, data tersebut merupakan hasil perkiraan dari beberapa lembaga yang selama ini menjadi pemerhati gajah. Selama sepuluh tahun terakhir, kata Donny, ada sekitar 700 ekor gajah yang mati karena diburu. “Meski yang diketahui ada150 ekor yang diburu, diracun, diambil gadingnya,” katanya.
Donny menyebutkan di tahun 1985 terdapat 44 daerah kantong habitat gajah yang berada di pulau Sumatera. Namun, hingga tahun 2007 hanya tinggal 25 kantong, lalu dari 25 kantong tersebut hanya terdapat 12 kantong saja yangg memiliki populasi di atas 50 ekor. Saat ini hanya beberapa daerah habitat gajah seperti di Taman Nasional Leuser dan Ulu Masen, Aceh, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan Tesso Nilo, Jambi, Padang Sugihan, Sumatera Selatan, Way Kambas dan Bukit Barisan Selatan, Lampung.
Dosen FKH UGM, drh. Muhammad Tauhid Nursalim, M.Sc., mengatakan menurunnya jumlah populasi gajah juga disebabkan kebijakan pembangunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang kurang berpihak terhadap sektor konservasi bahkan pembangunan jalan dan infrastruktur lain banyak yang melalui daerah taman nasional sehingga mengganggu habitat gajah.
“Upaya konservasi gajah perlu menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson; foto:http://www.gosumatra.com/gajah-sumatera/)